Selasa, 07 Juni 2016

Makna Pendidikan Karakter




1.    Makna Pendidikan Karakter
Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan & Bohlin, 1999: 5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols & Shadily, 1995: 214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak.  Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. 
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona yang mendefinisikan karakter sebagai “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Karakter mulia (good character), dalam pandangan Lickona, meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills). Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat.
Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan karakter, menurutnya, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51).
Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Selanjutnya Frye (2002: 3) menegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan usaha yang disengaja untuk membantu seseorang memahami, menjaga, dan berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai karakter mulia.  Ada banyak nilai karakter yang dapat dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran. Menanamkan semua butir nilai tersebut merupakan tugas yang sangat berat. Oleh karena itu, perlu dipilih nilai-nilai tertentu yang diprioritaskan penanamannya pada peserta didik. Nilai-nilai utama yang disarikan dari butir-butir standar kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran di sekolah (institusi pendidikan) di antaranya adalah:
1.    Kereligiusan, yakni pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
2.    Kejujuran, yakni perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain.
3.    Kecerdasan, yakni kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat.
4.    Ketangguhan, yakni sikap dan perilaku pantang menyerah atau tidak pernah putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan.
5.    Kedemokratisan, yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
6.    Kepedulian, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan kerusakan (manusia, alam, dan tatanan) di sekitar dirinya. 
7.    Kemandirian, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.    Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, yakni berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk  menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari  apa yang telah dimiliki.
9.    Keberanian mengambil risiko, yakni kesiapan menerima risiko/akibat yang mungkin timbul dari tindakan nyata.
10.     Berorientasi pada tindakan, yakni kemampuan untuk mewujudkan gagasan menjadi tindakan nyata.
Dari beberapa nilai karakter di atas, guru (pendidik) dapat memilih nilai-nilai karakter tertentu untuk diterapkan pada peserta didik disesuaikan dengan muatan materi dari setiap mata pelajaran (MK) yang ada. Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mencanangkan empat nilai karakter utama yang menjadi ujung tombak penerapan karakter di kalangan peserta didik, yakni kejujuran, ketangguhan, kepedulian, dan kecerdasan. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Merespons sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak dan budi pekerti, terutama melalui dua mata pelajaran (MK) Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan inovasi pendidikan karakter. Inovasi tersebut adalah:
1.    Pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran (MK). Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran (MK) dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran.
2.    Pendidikan karakter juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan peserta didik.
3.    Selain itu, pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga sekolah (Kemdiknas, 2010). 
Dari ketiga bentuk inovasi di atas yang paling penting dan langsung bersentuhan dengan aktivitas pembelajaran sehari-hari adalah pengintegrasian pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran (MK).  

2.    Implementasi Pendidikan Karakter Islam Dalam Keluarga    
Kata akhlak yang berasal dari bahasa Arab akhlaq (yang berarti tabiat, perangai, dan kebiasaan) banyak ditemukan dalam hadis Nabi Saw. Dalam salah satu hadisnya Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad). Sedangkan dalam al-Quran hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlaq yaitu khuluq. Allah menegaskan, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam [68]: 4). Khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang             buruk dibenci dan dihilangkan (Ainain, 1985: 186). Kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata krama atau sopan santun (Faisal Ismail, 1998: 178). secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Muka Sa’id, 1980: 23-24). Satu kata lagi yang sekarang menjadi lebih populer adalah karakter.
Secara terminologis karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education). Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku (Ahmad Amin, 1995: 62). 
Dalam al-Quran ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaan karakter atau akhlak yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang Muslim, seperti perintah berbuat kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr), menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut pada Allah Swt., bersedekah di jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf (QS. al-Qashash [28]: 77), (QS. al-Baqarah [2]: 177), (QS. al-Muminun (23): 1–11), (QS. al-Nur [24]: 37), (QS. al-Furqan [25]: 35–37), (QS. al-Fath [48]: 39) dan (QS. Ali ‘Imran [3]: 134).
Ayat-ayat ini merupakan ketentuan yang mewajibkan pada setiap Muslim melaksanakan nilai karakter mulia dalam berbagai aktivitasnya. Keharusan menjunjung tinggi karakter mulia (akhlaq karimah) lebih dipertegas lagi oleh Nabi saw. dengan pernyataan yang menghubungkan akhlak dengan kualitas kemauan, bobot amal, dan jaminan masuk surga. Sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Amr: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya …” (HR. al-Tirmidzi). Dalam hadis yang lain Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang Paling  cinta kepadaku di antara kamu sekalian dan paling dekat tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah yang terbaik akhlaknya di antara kamu sekalian ...” (HR. al-Tirmidzi).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa karakter dalam perspektif Islam bukan hanya hasil pemikiran dan tidak berarti lepas dari realitas hidup, melainkan merupakan persoalan yang terkait dengan akal, ruh, hati, jiwa, realitas, dan tujuan yang digariskan oleh akhlaq qur’aniah (Ainain, 1985: 186). Dengan demikian, karakter mulia merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam melalui nash al-Quran dan hadis. Dalam kenyataan hidup memang ditemukan ada orang yang berkarakter mulia dan juga sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan hakikat sifat manusia yang bisa baik dan bisa buruk (khairun wa syarrun). Inilah yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,” (QS. al-Syams [91]: 8). Manusia telah diberi potensi untuk bertauhid (QS. al-A’raf [7]: 172) dan QS. al-Rum [30]: 30), maka tabiat asalnya berarti baik, hanya saja manusia dapat jatuh pada keburukan karena memang diberi kebebasan memilih (QS. al-Taubah [9]: 7–8) dan (QS. al-Kahfi [18]: 29). Baik atau buruk bukan sesuatu yang mutlak diciptakan, melainkan manusia dapat memilih beberapa kemungkinan baik atau buruk. Namun walaupun manusia sudah terjatuh dalam keburukan, ia bisa bangkit pada kebaikan kembali dan bisa bertaubat dengan menghitung apa yang telah dipetik dari perbuatannya (Ainain, 1985: 104 ).
Sumber utama penentuan karakter dalam Islam, sebagaimana keseluruhan ajaran Islam lainnya, adalah al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Ukuran baik dan buruk dalam karakter Islam berpedoman pada kedua sumber itu, bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia. Sebab jika ukurannya adalah manusia, baik dan buruk akan berbeda-beda. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain belum tentu menganggapnya baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut sesuatu itu buruk, padahal yang lain bisa saja menyebutnya baik. Kedua sumber pokok tersebut (al-Quran dan sunnah) diakui oleh semua umat Islam sebagai dalil naqli yang tidak diragukan otoritasnya. Melalui kedua sumber inilah dapat dipahami dan diyakini bahwa sifat-sifat sabar, qana’ah, tawakkal, syukur, pemaaf, dan pemurah termasuk sifat-sifat yang baik dan mulia. Sebaliknya, dapat dipahami pula bahwa sifat-sifat syirik, kufur, nifaq, ujub, takabur, dan hasad merupakan sifat-sifat tercela. Jika kedua sumber itu tidak menegaskan mengenai nilai dari sifat-sifat tersebut, akal manusia mungkin akan memberikan penilaian yang berbeda-beda. Islam tidak mengabaikan adanya standar lain selain al-Quran dan sunnah/hadis untuk menentukan baik dan buruk dalam hal karakter manusia. Standar lain dimaksud adalah akal dan nurani manusia serta pandangan umum (tradisi) masyarakat.
Secara umum karakter dalam perspektif Islam dibagi menjadi dua, yaitu karakter mulia (al-akhlaq al-mahmudah) dan karakter tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Jika dilihat dari ruang lingkupnya, karakter Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu karakter terhadap Khaliq (Allah Swt.) dan karakter terhadap makhluq (makhluk/selain Allah Swt.).
Karakter terhadap makhluk bisa dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti karakter terhadap sesama manusia, karakter terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta karakter terhadap benda mati (lingkungan alam).  Tulisan ini akan lebih fokus pada pembinaan karakter dalam keluarga yang merupakan bagian dari pembinaan karakter dalam hubungan antarmanusia. Banyak aturan yang bisa dijadikan pedoman dalam pembinaan hubungan dalam keluarga, namun Islam dengan dua sumber pokoknya memiliki aturan yang cukup lengkap sebagian pedoman dasarnya. Selanjutnya akan diuraikan secara garis besar tatacara berhubungan antarperson dalam keluarga yang meliputi berbagai aspek hubungan. 
A.  Prinsip-prinsip Akhlak/Karakter Islam dalam Keluarga
Secara singkat prinsip-prinsip akhlak atau karakter dalam rangka melakukan hubungan antar manusia (hablun minallah) dalam keluarga bisa dikelompokkan enjadi beberapa bagian, yaitu berhubungan dengan orang tua, berhubungan dengan orang yang lebih tua, berhubungan dengan orang yang lebih muda, berhubungan dengan teman sebaya, berhubungan dengan lawan jenis, berhubungan dengan suami/isteri, dan tanggung jawab orang tua kepada anak. 
1.    Membina Akhlak/Karakter dengan Orang Tua
Yang dimaksud orang tua di sini adalah orang yang melahirkan kita, yaitu bapak dan ibu. Bergaul dengan orang tua tidak sama seperti bergaul dengan orang-orang lain atau teman-teman sebaya kita. Orang tua memiliki kedudukan yang sangat istimewa di hadapan kita, sehingga kita harus menghormati mereka dan patuh terhadap perintah-perintahnya.
Dalam sebuah hadis ditegaskan bahwa keridoan Allah sangat tergantung pada  keridoan orang tua, dan sebaliknya kemurkaan Allah sangat tergantung pada kemurkaan orang tua. Nabi Saw. bersabda: “Keridoan Allah terletak pada keridoan kedua orang tua dan kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan kedua orang tua.” (HR. al-Tirmidzi).
Islam menetapkan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain) adalah wajib dan merupakan amalan utama. Dalam hadis, diriwayatkan melalui shahabat, ‘Abdullah bin Mas’ud, dia berkata: “Aku bertanya kepada Nabi saw.: “Apa amalan yang paling disukai oleh Allah Swt.?” Beliau menjawab: “Shalat tepat waktunya”. Aku bertanya lagi: “Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Kemudian aku bertanya lagi: “Seterusnya apa?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). 
Al-Quran cukup banyak memberikan pembelajaran karakter khusus terhadap  kedua orang tua, misalnya (QS. al-An’am (6): 151); (QS. al-Isra’ (17): 23-24); dan (QS. Luqman (31): 14-15).  Berdasarkan ayat-ayat ini dapat dipahami bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain) itu adalah wajib dan sebaliknya berani atau durhaka kepada keduanya adalah dosa besar.
2.    Membina Akhlak/Karakter dengan Orang yang Lebih Tua
Orang yang lebih tua adalah orang yang memiliki usia yang lebih tua dari usia kita, baik sedikit terpautnya maupun banyak. Orang ini bisa saja masih saudara kita, seperti kakak, paman, bibi, dan kerabat kita yang lain, atau bukan saudara kita. Terhadap orang yang lebih tua ini, yang kita lakukan tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lakukan terhadap kedua orang tua, selama orang yang lebih tua itu patut untuk diperlakukan seperti itu.
Islam mengajarkan agar seorang Muslim menghormati orang lain dan tidak memandang rendah dan hina kepada mereka, apalagi jika mereka pantas mendapatkan penghormatan itu. Menghormati orang yang lebih tua dinilai sebagai salah satu sikap dasar yang paling penting yang menjadi identitas Islam dalam masyarakat. Terkait dengan hal tersebut di atas Nabi Saw. bersabda: “Tidak termasuk golongan ummatku orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua, tidak menunjukkan rasa sayang kepada yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kita.”  (HR. Ahmad dan al-Thabarani).
Menghormati orang yang lebih tua merupakan indikasi suatu masyarakat yang berperadaban, yang anggota-anggotanya memiliki pemahaman tentang moralitas manusia. Nabi memberikan contoh dalam hal ini seperti yang diceritakan dalam sebuah hadisnya, yakni ketika Nabi bersabda kepada ‘Abdurrahman ibn Sahl, juru bicara sebuah delegasi usianya termuda. Nabi mengatakan kepadanya: “Biarlah orang yang lebih tua darimu yang berbicara, biarlah orang yang lebih tua darimu yang berbicara.” Maka ‘Abdurrahman pun terdiam, sehingga orang yang lebih tua darinya segera angkat bicara.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam rangka pembinaan hubungan baik (berkarakter) dengan orang yang lebih tua, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah: 1) Jika orang-orang yang lebih tua itu adalah saudara kita, maka kita harus memberikan penghormatan yang sebaik-baiknya, apalagi jika mereka adalah saudara dari bapak atau ibu kita. Ketika kedua orang tua kita sudah meninggal, mereka dapat mengganti kedudukan kedua orang tua kita. Karena itu, kita harus memperlakukan mereka sebagaimana kedua orang tua kita, seperti menghormatinya, menaati perintahnya (yang tidak melanggar ajaran agama), membantunya, menjenguknya jika sakit, dan sebagainya; 2) Jika orang-orang yang lebih tua itu bukan saudara kita, maka kita tetap harus menghormatinya, selama mereka layak untuk dihormati. Jika mereka tidak layak dihormati, mungkin karena perilakunya yang tidak baik, maka kita tidak perlu menghormatinya dengan berlebihan.

3.    Membina Akhlak/Karakter dengan Orang yang Lebih Muda
Dasar adanya perintah untuk menyayangi yang lebih muda ini adalah sebuah hadis seperti yang sudah disebutkan di atas (bersama-sama dengan perintah untuk menghormati yang lebih tua). Yang harus kita lakukan dalam rangka berhubungan dengan orang-orang yang lebih muda adalah sebagai berikut: 1) Jika mereka itu saudara kita, maka kita harus memberikan kasih sayang kita yang sepenuhnya dengan ikut merawatnya, membimbingnya, mendidiknya, dan membantunya jika mereka membutuhkan bantuan kita. Tentu saja apa yang kita lakukan ini dalam rangka membantu orang tua dalam mengasuh dan membesarkan mereka; 2) Jika mereka bukan saudara kita, kita tetap harus menyayangi mereka dengan menunjukkan kasih sayang kita kepada mereka. Jangan sekali-kali kita menyakiti mereka dan melakukan sesuatu yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka, baik dari segi fisik maupun mental atau kejiwaan mereka. Jika mereka ini usianya masih belia, kita harus memberikan perhatian yang khusus dengan membantu mereka dalam berbagai hal sesuai dengan perkembangan usia dan jiwa mereka.

4.    Membina Akhlak/Karakter dengan Teman Sebaya
Teman sebaya adalah orang-orang yang memiliki usia yang hampir sama dengan usia kita dan menjadi teman atau sahabat kita. Kepada mereka ini kita harus dapat bergaul dengan sebaik-baiknya. Mereka ini adalah orang-orang yang sehari-harinya bergaul dengan kita dan menemani kita baik di kala suka maupun di kala duka. 
Hal-hal yang dapat kita lakukan dalam rangka berhubungan dengan teman sebaya di antaranya adalah:
1.    Saling memberi salam setiap bertemu dan berpisah dengan mereka dan dilanjutkan saling berjabat tangan, kecuali jika mereka itu lawan jenis kita. Salam ini hanya kita peruntukkan khusus yang seagama dengan kita, dan tidak perlu kita mengucapkan salam kepada yang tidak seagama. Sedangkan berjabat tangan hanya diperuntukkan kepada yang sejenis saja. Kepada yang lain jenis tidak diperbolehkan berjabat tangan, kecuali terhadap isteri/suami atau terhadap mahram (orang yang merupakan kerabat dekat)-nya.
2.    Saling menyambung tali silaturrahim dengan mereka dengan mempererat persahabatan dengan mereka.
3.    Saling memahami kelebihan dan kekurangan serta kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam bentuk kesalahfahaman dapat dihindari.
4.    Saling tolong-menolong. Yang kuat menolong yang lemah dan yang memiliki kelebihan menolong yang memiliki kekurangan;
5.    Bersikap rendah hati dan tidak boleh bersikap sombong kepada teman-teman sebaya kita;
6.    Saling mengasihi dengan mereka, sehingga terhindar dari permusuhan yang dapat menghancurkan hubungan persahabatan di antara teman yang seumur;
7.    Memberi perhatian terhadap keadaan mereka, apalagi jika mereka benar- benar berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
8.    Selalu membantu keperluan mereka, apalagi jika mereka meminta kita untuk membantu;
9.    Ikut menjaga mereka dari gangguan orang lain;
10.     Saling memberi nasihat dengan kebaikan dan kesabaran;
11.     Mendamaikan mereka bila berselisih; dan 12) Saling mendoakan dengan kebaikan.

5.    Membina Akhlak/Karakter dengan Lawan Jenis
Yang dimaksud dengan lawan jenis di sini adalah orang-orang yang memiliki jenis kelamin yang berbeda dengan kita. Terhadap orang-orang yang menjadi lawan jenis kita, Islam memberikan aturan yang khusus yang harus kita pegangi dalam rangka bergaul dengan mereka.
Karakter yang harus kita bangun dalam rangka berhubungan dengan orang-orang yang menjadi lawan jenis kita adalah:
a.    Tidak melakukan khalwat, yaitu berdua-duaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak mempunyai hubungan suami isteri dan tidak pula mahram tanpa ada orang ketiga. Termasuk dalam pengertian khalwat adalah berdua-duaan di tempat umum yang di antara mereka tidak saling  mengenal, atau saling mengenal tetapi tidak ada kepedulian, atau tidak mempunyai kontak komunikasi sama sekali sekalipun berada pada tempat yang sama, seperti di pantai, pasar, restoran, bioskop, dan tempat-tempat hiburan tertutup lainnya. Nabi Saw. Melarang kita melakukan khalwat dengan sabdanya: “Jauhilah berkhalwat dengan perempuan. Demi (Allah) yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah berkhalwat seorang laki-laki dengan seorang perempuan kecuali syetan akan masuk di antara keduanya.” (HR. al-Thabrani)
b.    Tidak melakukan jabat tangan, kecuali terhadap suami atau isterinya, atau terhadap mahramnya. Berjabat tangan kepada lawan jenis yang bukan suami/isteri atau mahram akan membuka pintu syahwat yang dapat menjurus kepada hal-hal yang lebih berbahaya, yakni perzinaan;
c.     Mengurangi pandangan mata, kecuali yang memang benar-benar perlu. Pandangan yang melebihi batas juga dapat menjurus ke arah perzinaan; 4) Tidak boleh menampakkan aurat di hadapan lawan jenisnya dan juga tidak boleh saling melihat aurat satu sama lain.
d.   Tidak melakukan hal-hal yang menjurus kepada perzinaan, seperti bergandengan tangan, berciuman, berpelukan, dan yang sejenisnya, apalagi sampai melakukan perzinaan (QS. al-Isra’ [17]: 32).

3.    Implementasi Pendidikan Karakter Islam di Sekolah
A.  Pembinaan Karakter Mulia di Sekolah
Untuk menjadi manusia yang baik (berkarakter mulia), manusia berkewajiban menjaga dirinya, antara lain dengan memelihara kesucian lahir dan batin, bersikap tenang, selalu menambah ilmu pengetahuan, dan membina disiplin diri. Setiap manusia juga harus menerapkan karakter mulia dalam kehidupan keluarga.
Pembinaan karakter juga harus dilakukan terhadap makhluk lain, seperti dengan hewan, tumbuhan, dan lingkungan sekitarnya. Karakter yang dikembangkan adalah cerminan dari tugas kekhalifahan manusia di bumi, yaitu menjaga agar setiap proses pertumbuhan alam terus berjalan sesuai dengan ciptaan-Nya. Dalam Al-Qur’an Surah Al-An’am (6): 38 dijelaskan bahwa hewan melata dan burung-burung seperti manusia yang menurut Al-Qurtubi tidak boleh dianiaya.
Al-Qur’an dengan tegas melarang manusia merusak bumi yang sudah diciptakan oleh Allah dengan baik (sistematik) (QS. Al-A’raf (7): 56 dan 85). Dalam kondisi apapun (pada masa perang atau damai), manusia dilarang menyakiti hewan dan merusak tumbuhan kecuali terpaksa. Semua sudah diciptakan dan diatur sesuai dengan hukum alamnya masing-masing dan disesuaikan dengan tujuan dan fungsi penciptaannya (QS. Al-Hasyr (56): 5).

B.  Pembinaan Karakter Mulia Berbasis Pendidikan Agama
Pembinaan karakter siswa di sekolah berarti berbagai upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam rangka pembentukan karakter siswa. Istilah yang identik dengan pembinaan adalah pembentukan atau pembangunan. Tekait dengan sekolah, sekarang sedang digalakkan pembentukan kultur sekolah. Salah satu kultur yang dipilih sekolah adalah kultur akhlak mulia. Di sinilah muncul istilah pembentukan kultur akhlak mulia di sekolah.
Kultur merupakan kebiasaan atau tradisi yang sarat dengan nilai-nilai tertentu yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan. Kultur dapat dibentuk dan dikembangkan oleh siapapun dan dimana pun.
Kata kultur berasal dari bahasa inggris, culture, yang berarti kesopanan, kebudayaan atau pemeliharaan. Dalam kamus besar bahasa indonesia, kultur diartikan sama, yaitu kebudayaan. Kata kultur sekarang mulai banyak diapakai untuk menyebut budaya atau kebiasaan yang terjadi sehingga dikenal istilah kultur sekolah, kultur kantor, dan kultur masyarakat.
Menurut Al-Qur’an, manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna oleh Allah dibandingkan dengan makhluk lainnya (QS. At-Tin (95): 4). Akan tetapi manusia bisa menjadi makhluk yang paling buruk jika tidak mau menerima keberadaan dan kekuasaan Allah (QS. At-Tin (95): 5). Hal ini menunjukkan bahwa manusia sesungguhnya tidak dapat terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan (valeu) itu sendiri merupakan keyakinan atau kepercayaan yang berdampak kepada perwujudan prilaku (Behavior) dengan budi pekerti atau akhlak.







C.  Metode Pembinaan Karakter Siswa di Sekolah
Para ahli berpendapat tentang metode yang bisa diterapkan dalam rangka pembinaan karakter siswa di sekolah. Dari sekian banyak pendapat itu dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.      Metode langsung dan tidak langsung.
Metode langsung berarti penyampaian pendidikan karakter (pendidikan akhlak) dilakukan secara langsung dengan memberikan materi-materi akhlak mulia dan sumbernya
2.      Melalui mata pelajaran tersendiri dan terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran.
3.      Melalui kegiatan-kegiatan di luar mata pelajaran, yaitu melalui pembiasaan-pembiasaan atau pengembangan diri.
4.      Melalui metode keteladanan (uswah hasanah)
5.      Melalui nasihat-nasihat dan memberi perhatian.
6.      Metode reward dan punishment.
Jika metode-metode di atas dapat diterapkan secara bersamaan di sekolah dan didukung oleh pihak-pihak yang terkait, akan memberikan hasil yang optimal dalam pembinaan karakter siswa.

4.    Implementasi Pendidikan Karakter Islam di Masyarakat.
A.  Masyarakat Sebagai Basis Pendidikan Karakter.

0 komentar:

Posting Komentar