1. Makna Pendidikan Karakter
Secara
etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani
(Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan & Bohlin, 1999:
5). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau
menggoreskan (Echols & Shadily, 1995: 214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia
kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka,
ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar
dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter
berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau
berwatak.
Secara
terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona yang mendefinisikan
karakter sebagai “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.”
Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so
conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Karakter
mulia (good character), dalam pandangan Lickona,
meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap
kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar
melakukan kebaikan (moral behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada
serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi
(motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills). Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak,
sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang
meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan,
dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungan, yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat.
Terminologi
pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona dianggap sebagai
pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of
Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for Character: How
Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui buku-buku itu, ia
menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Pendidikan
karakter, menurutnya, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan
(knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan
kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51).
Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang
benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan
karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta
didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dengan
demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak
atau pendidikan moral. Selanjutnya Frye (2002: 3) menegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan usaha yang disengaja untuk membantu seseorang memahami,
menjaga, dan berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai karakter mulia. Ada banyak nilai karakter yang dapat
dikembangkan dan diintegrasikan dalam pembelajaran. Menanamkan semua butir
nilai tersebut merupakan tugas yang
sangat berat. Oleh karena itu, perlu dipilih nilai-nilai tertentu yang diprioritaskan penanamannya pada peserta
didik. Nilai-nilai utama yang disarikan dari
butir-butir standar kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran di sekolah
(institusi pendidikan) di antaranya adalah:
1. Kereligiusan,
yakni pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan
pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
2.
Kejujuran,
yakni perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap
diri dan pihak lain.
3. Kecerdasan,
yakni kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan
cepat.
4. Ketangguhan,
yakni sikap dan perilaku pantang menyerah atau tidak pernah putus asa ketika
menghadapi berbagai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga
mampu mengatasi kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan.
5. Kedemokratisan,
yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
6. Kepedulian,
yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah dan memperbaiki
penyimpangan dan kerusakan (manusia, alam, dan tatanan) di sekitar
dirinya.
7. Kemandirian,
yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif, yakni berpikir dan melakukan sesuatu
secara kenyataan atau logika untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
9. Keberanian
mengambil risiko, yakni kesiapan menerima risiko/akibat yang mungkin timbul
dari tindakan nyata.
10. Berorientasi
pada tindakan, yakni kemampuan untuk mewujudkan gagasan menjadi tindakan nyata.
Dari
beberapa nilai karakter di atas, guru
(pendidik) dapat memilih nilai-nilai karakter tertentu untuk diterapkan pada
peserta didik disesuaikan dengan muatan materi dari setiap mata pelajaran (MK)
yang ada. Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan) mencanangkan empat nilai karakter utama yang menjadi ujung tombak
penerapan karakter di kalangan peserta didik, yakni kejujuran, ketangguhan,
kepedulian, dan kecerdasan. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam
Pembelajaran Merespons sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak
dan budi pekerti, terutama melalui dua mata pelajaran (MK) Pendidikan Agama dan
Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan inovasi pendidikan karakter.
Inovasi tersebut adalah:
1. Pendidikan
karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran (MK).
Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada
semua mata pelajaran (MK) dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang
memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas di dalam dan
di luar kelas untuk semua mata pelajaran.
2. Pendidikan
karakter juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan peserta
didik.
3. Selain
itu, pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan
semua warga sekolah (Kemdiknas, 2010).
Dari
ketiga bentuk inovasi di atas yang paling penting dan langsung bersentuhan
dengan aktivitas pembelajaran sehari-hari adalah pengintegrasian pendidikan
karakter dalam proses pembelajaran. Integrasi pendidikan karakter di dalam
proses pembelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran (MK).
2. Implementasi Pendidikan Karakter Islam Dalam Keluarga
Kata
akhlak yang berasal dari bahasa Arab akhlaq (yang berarti tabiat, perangai, dan
kebiasaan) banyak ditemukan dalam hadis Nabi Saw. Dalam salah satu hadisnya
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad). Sedangkan dalam al-Quran hanya ditemukan
bentuk tunggal dari akhlaq yaitu khuluq. Allah menegaskan, “Dan sesungguhnya
kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam [68]: 4). Khuluq
adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu
disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang
buruk
dibenci dan dihilangkan (Ainain, 1985: 186). Kata yang setara maknanya dengan
akhlak adalah moral dan etika. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi
pekerti, tata susila, tata krama atau sopan santun (Faisal Ismail, 1998: 178).
secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni
sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut
pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih
bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang
moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang (Muka Sa’id, 1980: 23-24). Satu kata lagi yang
sekarang menjadi lebih populer adalah karakter.
Secara
terminologis karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.”
Selanjutnya Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated
parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51).
Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang
kebaikan (moral khowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan
(moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior).
Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak,
sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang
meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan
Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya,
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat.
Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character
education). Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai awal terjadinya
akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk
pembiasaan sikap dan perilaku (Ahmad Amin, 1995: 62).
Dalam al-Quran ditemukan banyak sekali
pokok-pokok keutamaan karakter atau akhlak
yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang Muslim, seperti perintah
berbuat kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr), menepati janji (al-wafa),
sabar, jujur, takut pada Allah Swt., bersedekah di jalan Allah, berbuat adil,
dan pemaaf (QS. al-Qashash [28]: 77),
(QS. al-Baqarah [2]: 177), (QS. al-Muminun
(23): 1–11),
(QS. al-Nur [24]: 37), (QS. al-Furqan [25]: 35–37), (QS. al-Fath [48]: 39) dan (QS. Ali ‘Imran [3]: 134).
Ayat-ayat
ini merupakan ketentuan yang mewajibkan pada setiap Muslim melaksanakan nilai
karakter mulia dalam berbagai aktivitasnya. Keharusan menjunjung tinggi
karakter mulia (akhlaq karimah) lebih dipertegas lagi oleh Nabi saw. dengan
pernyataan yang menghubungkan akhlak dengan kualitas kemauan, bobot amal, dan
jaminan masuk surga. Sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Amr:
“Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya …” (HR. al-Tirmidzi). Dalam
hadis yang lain Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang Paling cinta kepadaku di antara kamu sekalian dan
paling dekat tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah yang terbaik
akhlaknya di antara kamu sekalian ...” (HR. al-Tirmidzi).
Dalil-dalil
di atas menunjukkan bahwa karakter dalam perspektif Islam bukan hanya hasil pemikiran dan tidak berarti
lepas dari realitas hidup, melainkan merupakan persoalan yang terkait dengan
akal, ruh, hati, jiwa, realitas, dan tujuan yang digariskan oleh akhlaq
qur’aniah (Ainain, 1985: 186). Dengan demikian, karakter mulia merupakan sistem
perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam melalui nash al-Quran dan hadis.
Dalam kenyataan hidup memang ditemukan ada orang yang berkarakter mulia dan
juga sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan hakikat sifat manusia yang bisa
baik dan bisa buruk (khairun wa syarrun). Inilah yang ditegaskan Allah dalam
firman-Nya, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya,” (QS. al-Syams [91]: 8). Manusia telah diberi potensi untuk
bertauhid (QS. al-A’raf [7]: 172) dan
QS. al-Rum [30]: 30), maka tabiat asalnya berarti baik, hanya saja manusia
dapat jatuh pada keburukan karena memang diberi kebebasan memilih (QS.
al-Taubah [9]: 7–8) dan
(QS. al-Kahfi [18]: 29). Baik atau buruk
bukan sesuatu yang mutlak diciptakan, melainkan manusia dapat memilih beberapa
kemungkinan baik atau buruk. Namun walaupun manusia sudah terjatuh dalam keburukan,
ia bisa bangkit pada kebaikan kembali dan bisa bertaubat dengan menghitung apa
yang telah dipetik dari perbuatannya (Ainain, 1985: 104 ).
Sumber
utama penentuan karakter dalam Islam, sebagaimana keseluruhan ajaran Islam lainnya, adalah al-Quran dan sunnah
Nabi Muhammad saw. Ukuran baik dan buruk dalam karakter Islam berpedoman pada
kedua sumber itu, bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia. Sebab jika
ukurannya adalah manusia, baik dan buruk akan berbeda-beda. Seseorang
mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain belum tentu menganggapnya
baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut sesuatu itu buruk, padahal
yang lain bisa saja menyebutnya baik. Kedua sumber pokok tersebut (al-Quran dan
sunnah) diakui oleh semua umat Islam sebagai dalil naqli yang tidak diragukan
otoritasnya. Melalui kedua sumber inilah dapat dipahami dan diyakini bahwa
sifat-sifat sabar, qana’ah, tawakkal, syukur, pemaaf, dan pemurah termasuk
sifat-sifat yang baik dan mulia. Sebaliknya, dapat dipahami pula bahwa sifat-sifat
syirik, kufur, nifaq, ujub, takabur, dan hasad merupakan sifat-sifat tercela.
Jika kedua sumber itu tidak menegaskan mengenai nilai dari sifat-sifat
tersebut, akal manusia mungkin akan memberikan penilaian yang berbeda-beda.
Islam tidak mengabaikan adanya standar lain selain al-Quran dan sunnah/hadis
untuk menentukan baik dan buruk dalam hal karakter manusia. Standar lain
dimaksud adalah akal dan nurani manusia serta pandangan umum (tradisi)
masyarakat.
Secara
umum karakter dalam perspektif Islam dibagi menjadi dua, yaitu karakter mulia (al-akhlaq al-mahmudah) dan
karakter tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Jika dilihat dari ruang lingkupnya,
karakter Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu karakter terhadap Khaliq (Allah
Swt.) dan karakter terhadap makhluq (makhluk/selain Allah Swt.).
Karakter
terhadap makhluk bisa dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti karakter
terhadap sesama manusia, karakter terhadap makhluk hidup selain manusia
(seperti tumbuhan dan binatang), serta karakter terhadap benda mati (lingkungan
alam). Tulisan ini akan lebih fokus pada
pembinaan karakter dalam keluarga yang merupakan bagian dari pembinaan karakter
dalam hubungan antarmanusia. Banyak aturan yang bisa dijadikan pedoman dalam
pembinaan hubungan dalam keluarga, namun Islam dengan dua sumber pokoknya memiliki
aturan yang cukup lengkap sebagian pedoman
dasarnya. Selanjutnya akan diuraikan secara garis besar tatacara berhubungan antarperson dalam keluarga yang meliputi
berbagai aspek hubungan.
A. Prinsip-prinsip Akhlak/Karakter
Islam dalam Keluarga
Secara singkat prinsip-prinsip akhlak atau karakter dalam
rangka melakukan hubungan antar manusia (hablun
minallah) dalam keluarga bisa dikelompokkan enjadi beberapa bagian, yaitu berhubungan
dengan orang tua, berhubungan dengan orang yang lebih tua, berhubungan dengan
orang yang lebih muda, berhubungan dengan teman sebaya, berhubungan dengan
lawan jenis, berhubungan dengan suami/isteri, dan tanggung jawab orang tua
kepada anak.
1. Membina Akhlak/Karakter dengan
Orang Tua
Yang dimaksud orang tua di sini adalah
orang yang melahirkan kita, yaitu bapak
dan ibu. Bergaul dengan orang tua tidak sama seperti bergaul dengan orang-orang
lain atau teman-teman sebaya kita. Orang tua
memiliki kedudukan yang sangat istimewa di hadapan
kita, sehingga kita harus menghormati mereka dan patuh terhadap perintah-perintahnya.
Dalam sebuah hadis ditegaskan bahwa
keridoan Allah sangat tergantung pada keridoan orang tua, dan
sebaliknya kemurkaan Allah sangat tergantung pada kemurkaan orang tua. Nabi
Saw. bersabda: “Keridoan Allah terletak pada keridoan kedua orang tua dan kemurkaan Allah terletak pada
kemurkaan kedua orang tua.” (HR. al-Tirmidzi).
Islam menetapkan bahwa berbuat baik
kepada kedua orang tua (birrul walidain) adalah wajib dan merupakan amalan
utama. Dalam hadis, diriwayatkan melalui shahabat, ‘Abdullah bin Mas’ud, dia
berkata: “Aku bertanya kepada Nabi saw.: “Apa amalan yang paling disukai oleh
Allah Swt.?” Beliau menjawab: “Shalat tepat waktunya”. Aku bertanya lagi:
“Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Berbuat baik kepada kedua orang tua”.
Kemudian aku bertanya lagi: “Seterusnya apa?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
Al-Quran cukup banyak memberikan
pembelajaran karakter khusus terhadap kedua orang tua,
misalnya (QS.
al-An’am (6): 151);
(QS. al-Isra’ (17): 23-24); dan (QS. Luqman (31): 14-15). Berdasarkan
ayat-ayat ini dapat dipahami bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul
walidain) itu adalah wajib dan sebaliknya berani atau durhaka kepada keduanya
adalah dosa besar.
2. Membina
Akhlak/Karakter dengan Orang yang Lebih Tua
Orang yang lebih tua adalah orang yang memiliki usia yang
lebih tua dari usia kita, baik sedikit terpautnya maupun banyak. Orang
ini bisa saja masih saudara kita, seperti kakak, paman, bibi, dan kerabat kita
yang lain, atau bukan saudara kita. Terhadap orang yang lebih tua ini, yang
kita lakukan tidak jauh berbeda dengan apa yang kita lakukan terhadap kedua
orang tua, selama orang yang lebih tua itu patut untuk diperlakukan seperti
itu.
Islam
mengajarkan agar seorang Muslim menghormati orang lain dan tidak memandang
rendah dan hina kepada mereka, apalagi jika mereka pantas mendapatkan
penghormatan itu. Menghormati orang yang lebih tua dinilai sebagai salah satu
sikap dasar yang paling penting yang menjadi
identitas Islam dalam masyarakat. Terkait dengan hal tersebut di atas Nabi Saw.
bersabda: “Tidak termasuk golongan ummatku orang yang tidak menghormati orang
yang lebih tua, tidak menunjukkan rasa sayang kepada yang lebih muda, dan tidak
mengetahui hak orang alim
di antara kita.” (HR. Ahmad dan
al-Thabarani).
Menghormati
orang yang lebih tua merupakan indikasi suatu masyarakat yang berperadaban,
yang anggota-anggotanya memiliki pemahaman tentang moralitas manusia. Nabi
memberikan contoh dalam hal ini seperti yang diceritakan dalam sebuah hadisnya,
yakni ketika Nabi bersabda kepada ‘Abdurrahman ibn Sahl, juru bicara sebuah
delegasi usianya termuda. Nabi mengatakan kepadanya: “Biarlah orang yang lebih
tua darimu yang berbicara, biarlah orang yang lebih tua darimu yang berbicara.”
Maka ‘Abdurrahman pun terdiam, sehingga orang yang lebih tua darinya segera angkat bicara.” (HR. al-Bukhari
dan Muslim).
Dalam
rangka pembinaan hubungan baik (berkarakter) dengan orang yang lebih tua, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, di antaranya adalah: 1) Jika orang-orang yang lebih tua itu adalah saudara kita,
maka kita harus memberikan penghormatan yang sebaik-baiknya,
apalagi jika mereka adalah saudara dari bapak atau ibu kita. Ketika kedua orang
tua kita sudah meninggal, mereka dapat mengganti kedudukan kedua orang tua kita. Karena itu, kita harus
memperlakukan mereka sebagaimana kedua orang tua kita, seperti menghormatinya,
menaati perintahnya (yang tidak melanggar ajaran agama), membantunya, menjenguknya
jika sakit, dan sebagainya; 2) Jika orang-orang yang
lebih tua itu bukan saudara kita, maka kita tetap harus menghormatinya, selama mereka layak untuk dihormati. Jika
mereka tidak layak dihormati, mungkin karena perilakunya yang tidak baik, maka
kita tidak perlu menghormatinya dengan berlebihan.
3.
Membina
Akhlak/Karakter dengan Orang yang Lebih Muda
Dasar
adanya perintah untuk menyayangi yang lebih muda ini adalah sebuah hadis
seperti yang sudah disebutkan di atas (bersama-sama dengan perintah untuk menghormati
yang lebih tua). Yang harus kita lakukan dalam rangka berhubungan dengan
orang-orang yang lebih muda adalah sebagai berikut: 1) Jika mereka itu saudara
kita, maka kita harus memberikan kasih sayang kita yang sepenuhnya dengan ikut merawatnya, membimbingnya, mendidiknya,
dan membantunya jika mereka membutuhkan bantuan kita. Tentu saja apa yang kita
lakukan ini dalam rangka membantu orang tua dalam mengasuh dan membesarkan
mereka; 2) Jika mereka bukan saudara kita, kita tetap harus menyayangi mereka
dengan menunjukkan kasih sayang kita kepada mereka. Jangan sekali-kali kita
menyakiti mereka dan melakukan sesuatu yang mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan mereka, baik dari segi fisik maupun mental atau kejiwaan mereka.
Jika mereka ini usianya masih belia, kita harus memberikan perhatian yang
khusus dengan membantu mereka dalam berbagai hal sesuai dengan perkembangan
usia dan jiwa mereka.
4.
Membina
Akhlak/Karakter dengan Teman Sebaya
Teman sebaya
adalah orang-orang yang memiliki usia yang hampir sama dengan usia kita dan
menjadi teman atau sahabat kita. Kepada mereka ini kita harus dapat bergaul
dengan sebaik-baiknya. Mereka ini adalah orang-orang yang sehari-harinya bergaul dengan kita dan menemani kita
baik di kala suka maupun di kala duka.
Hal-hal yang dapat kita lakukan dalam
rangka berhubungan dengan teman sebaya di antaranya adalah:
1. Saling
memberi salam setiap bertemu dan berpisah dengan mereka dan dilanjutkan saling
berjabat tangan, kecuali jika mereka itu lawan jenis kita. Salam ini hanya kita
peruntukkan khusus yang seagama dengan kita, dan tidak perlu kita mengucapkan
salam kepada yang tidak seagama. Sedangkan berjabat tangan hanya diperuntukkan
kepada yang sejenis saja. Kepada yang lain jenis tidak diperbolehkan berjabat tangan, kecuali terhadap
isteri/suami atau terhadap mahram (orang yang merupakan kerabat dekat)-nya.
2. Saling
menyambung tali silaturrahim dengan mereka dengan mempererat persahabatan
dengan mereka.
3. Saling
memahami kelebihan dan kekurangan serta kekuatan dan kelemahan masing-masing,
sehingga segala macam bentuk kesalahfahaman dapat dihindari.
4. Saling
tolong-menolong. Yang kuat menolong yang lemah dan yang memiliki kelebihan
menolong yang memiliki kekurangan;
5. Bersikap
rendah hati dan tidak boleh bersikap sombong kepada teman-teman sebaya kita;
6. Saling
mengasihi dengan mereka, sehingga terhindar dari permusuhan yang dapat
menghancurkan hubungan persahabatan di antara teman yang seumur;
7. Memberi
perhatian terhadap keadaan mereka, apalagi jika mereka benar- benar berada dalam kondisi yang
memprihatinkan.
8. Selalu
membantu keperluan mereka, apalagi jika mereka meminta kita untuk membantu;
9. Ikut
menjaga mereka dari gangguan orang lain;
10. Saling
memberi nasihat dengan kebaikan dan kesabaran;
11. Mendamaikan
mereka bila berselisih; dan 12) Saling mendoakan dengan kebaikan.
5. Membina Akhlak/Karakter dengan
Lawan Jenis
Yang
dimaksud dengan lawan jenis di sini adalah orang-orang yang memiliki jenis
kelamin yang berbeda dengan kita. Terhadap orang-orang yang menjadi lawan jenis
kita, Islam memberikan aturan yang khusus yang harus kita pegangi dalam rangka bergaul
dengan mereka.
Karakter
yang harus kita bangun dalam rangka berhubungan dengan orang-orang yang menjadi
lawan jenis kita adalah:
a.
Tidak
melakukan khalwat, yaitu berdua-duaan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang tidak mempunyai hubungan suami isteri dan tidak pula mahram
tanpa ada orang ketiga. Termasuk dalam pengertian khalwat adalah
berdua-duaan di tempat umum yang di antara mereka tidak saling mengenal,
atau saling mengenal tetapi tidak ada kepedulian, atau tidak mempunyai kontak
komunikasi sama sekali sekalipun berada pada tempat yang sama, seperti di pantai, pasar, restoran, bioskop, dan
tempat-tempat hiburan tertutup lainnya. Nabi Saw. Melarang kita melakukan khalwat dengan
sabdanya: “Jauhilah berkhalwat dengan perempuan.
Demi (Allah) yang diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah berkhalwat seorang laki-laki dengan
seorang perempuan kecuali syetan akan masuk di antara keduanya.” (HR.
al-Thabrani)
b.
Tidak melakukan jabat tangan, kecuali
terhadap suami atau isterinya, atau terhadap mahramnya. Berjabat tangan kepada
lawan jenis yang bukan suami/isteri atau mahram akan membuka pintu syahwat yang
dapat menjurus kepada hal-hal yang lebih berbahaya, yakni perzinaan;
c.
Mengurangi pandangan
mata, kecuali yang memang benar-benar perlu. Pandangan yang melebihi batas juga
dapat menjurus ke arah perzinaan; 4) Tidak boleh menampakkan aurat di hadapan
lawan jenisnya dan juga tidak boleh saling melihat aurat satu sama lain.
d. Tidak
melakukan hal-hal yang menjurus kepada perzinaan, seperti bergandengan tangan, berciuman, berpelukan, dan yang
sejenisnya, apalagi sampai melakukan perzinaan
(QS. al-Isra’ [17]: 32).
3.
Implementasi
Pendidikan Karakter Islam di Sekolah
A. Pembinaan Karakter Mulia di Sekolah
Untuk menjadi manusia yang baik (berkarakter mulia),
manusia berkewajiban menjaga dirinya, antara lain dengan memelihara kesucian
lahir dan batin, bersikap tenang, selalu menambah ilmu pengetahuan, dan membina
disiplin diri. Setiap manusia juga harus menerapkan karakter mulia dalam
kehidupan keluarga.
Pembinaan karakter juga harus dilakukan terhadap makhluk
lain, seperti dengan hewan, tumbuhan, dan lingkungan sekitarnya. Karakter yang dikembangkan
adalah cerminan dari tugas kekhalifahan manusia di bumi, yaitu menjaga agar
setiap proses pertumbuhan alam terus berjalan sesuai dengan ciptaan-Nya. Dalam
Al-Qur’an Surah Al-An’am (6): 38 dijelaskan bahwa hewan melata dan
burung-burung seperti manusia yang menurut Al-Qurtubi tidak boleh dianiaya.
Al-Qur’an dengan tegas melarang manusia merusak bumi yang
sudah diciptakan oleh Allah dengan baik (sistematik) (QS. Al-A’raf (7): 56 dan
85). Dalam kondisi apapun (pada masa perang atau damai), manusia dilarang
menyakiti hewan dan merusak tumbuhan kecuali terpaksa. Semua sudah diciptakan
dan diatur sesuai dengan hukum alamnya masing-masing dan disesuaikan dengan
tujuan dan fungsi penciptaannya (QS. Al-Hasyr (56): 5).
B. Pembinaan Karakter Mulia Berbasis Pendidikan Agama
Pembinaan karakter siswa di sekolah berarti berbagai
upaya yang dilakukan oleh sekolah dalam rangka pembentukan karakter siswa.
Istilah yang identik dengan pembinaan adalah pembentukan atau pembangunan.
Tekait dengan sekolah, sekarang sedang digalakkan pembentukan kultur sekolah.
Salah satu kultur yang dipilih sekolah adalah kultur akhlak mulia. Di sinilah
muncul istilah pembentukan kultur akhlak mulia di sekolah.
Kultur merupakan kebiasaan atau tradisi yang sarat dengan
nilai-nilai tertentu yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari
dalam berbagai aspek kehidupan. Kultur dapat dibentuk dan dikembangkan oleh
siapapun dan dimana pun.
Kata kultur berasal dari bahasa inggris, culture,
yang berarti kesopanan, kebudayaan atau pemeliharaan. Dalam kamus besar bahasa
indonesia, kultur diartikan sama, yaitu kebudayaan. Kata kultur sekarang mulai
banyak diapakai untuk menyebut budaya atau kebiasaan yang terjadi sehingga
dikenal istilah kultur sekolah, kultur kantor, dan kultur masyarakat.
Menurut Al-Qur’an, manusia diciptakan sebagai makhluk
yang paling sempurna oleh Allah dibandingkan dengan makhluk lainnya (QS. At-Tin
(95): 4). Akan tetapi manusia bisa menjadi makhluk yang paling buruk jika tidak
mau menerima keberadaan dan kekuasaan Allah (QS. At-Tin (95): 5). Hal ini
menunjukkan bahwa manusia sesungguhnya tidak dapat terlepas dari nilai-nilai
kemanusiaan (valeu) itu sendiri merupakan keyakinan atau kepercayaan
yang berdampak kepada perwujudan prilaku (Behavior) dengan budi pekerti
atau akhlak.
C. Metode Pembinaan Karakter Siswa di Sekolah
Para ahli berpendapat tentang metode yang bisa diterapkan
dalam rangka pembinaan karakter siswa di sekolah. Dari sekian banyak pendapat
itu dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.
Metode
langsung dan tidak langsung.
Metode
langsung berarti penyampaian pendidikan karakter (pendidikan akhlak) dilakukan
secara langsung dengan memberikan materi-materi akhlak mulia dan sumbernya
2.
Melalui
mata pelajaran tersendiri dan terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran.
3.
Melalui
kegiatan-kegiatan di luar mata pelajaran, yaitu melalui pembiasaan-pembiasaan
atau pengembangan diri.
4.
Melalui
metode keteladanan (uswah hasanah)
5.
Melalui
nasihat-nasihat dan memberi perhatian.
6.
Metode
reward dan punishment.
Jika
metode-metode di atas dapat diterapkan secara bersamaan di sekolah dan didukung
oleh pihak-pihak yang terkait, akan memberikan hasil yang optimal dalam
pembinaan karakter siswa.
4.
Implementasi
Pendidikan Karakter Islam di Masyarakat.
A. Masyarakat Sebagai Basis Pendidikan Karakter.
0 komentar:
Posting Komentar