KONSEP
DASAR PENDIDIKAN KARAKTER
Dr.
Marzuki, M.Ag.
A.
Latar Belakang
Pendidikan
karakter akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan di tengah-tengah
masyarakat Indonesia, terutama oleh kalangan akademisi. Sikap dan perilaku
masyarakat dan bangsa Indonesia sekarang cenderung mengabaikan nilai-nilai
luhur yang sudah lama dijunjung tinggi dan mengakar dalam sikap dan perilaku
sehari-hari. Nilai-nilai karakter mulia, seperti kejujuran, kesantunan,
kebersamaan, dan religius, sedikit demi sedikit mulai tergerus oleh budaya
asing yang cenderung hedonistik, materialistik, dan individualistik, sehingga
nilai-nilai karakter tersebut tidak lagi dianggap penting jika bertentangan
dengan tujuan yang ingin diperoleh. Sebagai
bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki peradaban yang mulia (baca:
masyarakat madani) dan peduli dengan pendidikan bangsa, sudah seyogyanya kita
berupaya untuk menjadikan nilai-nilai karakter mulia itu tumbuh dan bersemi
kembali menyertai setiap sikap dan perilaku bangsa, mulai dari pemimpin
tertinggi hingga rakyat jelata, sehingga bangsa ini memiliki kebanggaan dan
diperhitungkan eksistensinya di tengah-tengah bangsa-bangsa lain. Salah satu
upaya ke arah itu adalah melakukan pembinaan karakter di semua aspek kehidupan
masyarakat, terutama melalui institusi pendidikan.
Membangun
karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara
berkesinambungan. Karakter yang melekat pada bangsa kita akhir-akhir ini bukan
begitu saja terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses yang panjang.
Potret kekerasan, kebrutalan, dan ketidakjujuran anak-anak bangsa yang
ditampilkan oleh media baik cetak maupun elektronik sekarang ini sudah melewati
proses panjang. Budaya seperti itu tidak hanya melanda rakyat umum yang kurang
pendidikan, tetapi sudah sampai pada masyarakat yang terdidik, seperti pelajar
dan mahasiswa, bahkan juga melanda para elite bangsa ini.
Pendidikan
yang merupakan agent of change harus mampu melakukan perbaikan karakter bangsa
kita. Karena itu, pendidikan kita perlu direkonstruksi ulang agar dapat
menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan siap menghadapi “dunia” masa
depan yang penuh dengan problema dan tantangan serta dapat menghasilkan lulusan
yang memiliki karakter mulia. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu
mengemban misi pembentukan karakter (character building) sehingga para peserta
didik dan para lulusannya dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan di
masa-masa mendatang tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia. Salah satu
upaya untuk mewujudkan pendidikan seperti di atas, para peserta didik (siswa
dan mahasiswa) harus dibekali dengan pendidikan khusus yang membawa misi pokok
dalam pembinaan karakter mulia. Pendidikan seperti ini dapat memberi arah
kepada para peserta didik setelah menerima berbagai ilmu maupun pengetahuan
dalam bidang studi (jurusan) masing-masing, sehingga mereka dapat
mengamalkannya di tengah-tengah masyarakat dengan tetap berpatokan pada
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang universal.
Arah
dan tujuan pendidikan nasional kita, seperti diamanatkan oleh UUD 1945, adalah
peningkatan iman dan takwa serta pembinaan akhlak mulia para peserta didik yang
dalam hal ini adalah seluruh warga negara yang mengikuti proses pendidikan di
Indonesia. Amanat konstitusi kita ini dengan tegas memberikan perhatian yang
besar akan pentingnya pendidikan karakter (akhlak mulia) dalam setiap proses
pendidikan dalam membantu membumikan nilai-nilai agama dan kebangsaan melalui
ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan kepada seluruh peserta didik.
Keluarnya undang-undang tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas), yakni
UU no. 20 tahun 2003,
menegaskan kembali fungsi dan tujuan pendidikan nasional kita. Pada pasal 3 UU
ini ditegaskan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Misi besar pendidikan nasional seperti di
atas menuntut semua pelaksana pendidikan di memiliki kepedulian yang tinggi
akan masalah moral atau karakter.
B. Pengertian Karakter dan Pendidikan Karakter
Secara
etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani
(Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan and Bohlin, 1999: 5).
Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau
menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987: 214). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata
“karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka,
ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik
(Pusat Bahasa Depdiknas, 2008: 682). Orang berkarakter berarti orang yang
berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan makna
seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak.
Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang
yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya
keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir (Koesoema, 2007: 80).
Secara
terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya
karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a
morally good way.” Selanjutnya Lickona menambahkan, “Character so conceived has
three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior”
(Lickona, 1991: 51). Menuruts
Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan,
lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar
melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian
pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta
perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Terminologi
pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an. Thomas Lickona
dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul
The Return of Character Education dan kemudian disusul bukunya, Educating for
Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. Melalui
buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter.
Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good),
dan melakukan kebaikan (doing the good) (Lickona, 1991: 51). Pendidikan
karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada
anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan,
dan mau melakukan yang baik. Pendidikan karakter ini membawa misi yang sama
dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral.
Kata
akhlak berasal dari bahasa Arab “al-akhlaq” yang merupakan bentuk jamak dari
kata “al-khuluq” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat
(Hamzah Ya’qub, 1988: 11). Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti
keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak
menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih.
Sedang al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada
jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak
membutuhkan kepada pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27). Dalam khazanah perbendaharaan bahasa
Indonesia kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika.
Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata krama,
atau sopan santun (Faisal Ismail, 1988: 178). Pada dasarnya secara konseptual
kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan
perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan
buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis
sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis
sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Muka
Sa’id, 1986: 23-24). Etika lebih memandang perilaku secara universal, sedang
moral memandangnya
Untuk
mengaplikasikan akhlak, etika, atau moral dalam diri seseorang dimunculkan
bidang ilmu yang disebut Pendidikan Akhlak, Pendidikan Etika, atau Pendidikan
Moral.
C. Pengembangan dan Pembinaan Karakter
1.
Peran Agama dalam Pengembangan Karakter
Untuk
menjadikan manusia memiliki karakter mulia (berakhlak mulia), manusia
berkewajiban menjaga dirinya dengan cara memelihara kesucian lahir dan batin,
selalu menambah ilmu pengetahuan, membina disiplin diri, dan berusaha melakukan
perbuatan-perbuatan terpuji serta menghindarkan perbuatan-perbuatan tercela.
Setiap orang harus melakukan hal tersebut dalam berbagai aspek kehidupannya,
jika ia benar-benar ingin membangun karakternya. Sebagai salah satu agama samawi (bersumber
dari wahyu Tuhan), Islam memberikan pembelajaran yang tegas tentang karakter
atau akhlak. Apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw., selaku pembawa agama
Islam, harus diteladani oleh semua pengikutnya (umat Islam). Nabi Muhammad Saw.
berhasil membangun karakter umat Islam setelah menempuh waktu yang lama
(sekitar 13 tahun) dan dengan kerja keras yang takkenal lelah. Nabi memulainya
dengan pembinaan agama, terutama pembinaan akidah (keimanan). Dalam konsep
Islam, akhlak atau karakter mulia merupakan hasil dari pelaksanaan seluruh
ketentuan Islam (syariah) yang didasari dengan fondasi keimanan yang kokoh
(akidah). Seorang Muslim yang memiliki akidah yang kuat pasti akan mematuhi
seluruh ketentuan (ajaran) agama Islam dengan melaksanakan seluruh perintah
agama dan meninggalkan seluruh larangan agama. Inilah yang disebut takwa.
Dengan pelaksanaan ketentuan agama yang utuh baik
kuantitas
dan kualitasnya, seorang Muslim akan memiliki karakter mulia seperti yang sudah
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad beserta para sahabatnya. Dengan demikian, agama
memiliki peran besar dalam pembangunan karakter manusia. Agama menjamin
pemeluknya memiliki karakter mulia, jika ia memiliki komitmen tinggi dengan
seluruh ajaran agamanya. Sebaliknya, jika pemeluk agama memiliki agama hanya
sebagai formalitas belaka tanpa memperhatikan dan mematuhi ajaran agamanya,
maka yang terjadi sering kali agama tidak bisa mengantarkan pemeluknya
berkarakter mulia, malah agama sering menjadi tameng di balikketidakberhasilan
membangun karakter pemeluknya. Karena itulah, tidak sedikit orang yang lari
dari agama dan ingin membuktikan bahwa ia mampu berkarakter tanpa agama.
Inilah
opini sebagian masyarakat yang sebenarnya keliru. Sebab karakter yang dibangun
tanpa agama adalah karakter yang tidak utuh. Bagaimana orang dikatakan baik
atau buruk karakternya jika ukurannya hanyalah berbuat baik kepada manusia saja
dan mengabaikan hubungan vertikalnya (ibadah) kepada Tuhan.
Dalam
pandangan religius dan etika Protestan, seorang individu bertanggung jawab atas
keselamatan lahir batin melalui perbuatannya yang baik. Keselamatan manusia
tergantung pada amal ibadahnya. Setiap orang bisa menjamin keselamatan kekalnya
dengan jalan menghayati cara hidup yang etis, yakni hidup dengan saleh sambil
bekerja dengan rajin dan jujur. Keselamatan dunia akhirat tergantung pada usaha
pribadi seseorang. Etos Protestan ini dengan mudah bisa mengintegrasikan mandat
Ilahi yang diterima setiap manusia dari Allah, Sang Pencipta, seperti diuraikan
dalam Kitab Suci (Kejadian 1: 28):
”Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi, dan taklukkanlah
itu ...” (I. Bambang Sugiharto dan Agus Rahmat W., 2000: 61).
Pembinaan
karakter (akhlak) juga harus dilakukan dengan masyarakat pada umumnya yang bisa
dimulai dari kolega atau teman dekat, teman kerja, dan relasi lainnya. Dalam
pergaulan kita di masyarakat bisa saja kita menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dengan mereka, entah sebagai anggota biasa maupun sebagai pemimpin.
Sebagai pemimpin, kita perlu menghiasi dengan akhlak yang mulia. Karena itu,
pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat mulia, seperti memiliki kemampuan,berilmu
pengetahuan agar urusan ditangani secara profesional, memiliki keberanian dan
kejujuran, lapang dada, penyantun, serta tekun dan sabar. Dari bekal sikap
inilah pemimpin akan dapat melaksanakan tugas dengan amanah dan adil, melayani
dan melindungi rakyat, dan bertanggung jawab serta membelajarkan rakyat.
Sedangkan sebagai rakyat kita berkewajiban patuh, memberi nasihat kepada
pemimpin jika ada tanda-tanda penyimpangan.
Di
samping itu, pembinaan akhlak juga harus dilakukan terhadap makhluk lain,
seperti dengan binatang, tumbuhan, dan lingkungan sekitarnya. Akhlak yang
dikembangkan adalah cerminan dari tugas kekhalifahan manusia di bumi, yakni
untuk menjaga agar setiap proses pertumbuhan alam terus berjalan sesuai dengan
fungsi ciptaan-Nya. Dalam kondisi apa pun (di masa perang atau damai) manusia
dilarang merusak binatang dan tumbuhan
kecuali terpaksa. Semua sudah diciptakan dan diatur sesuai dengan hukum alamnya
masing-masing dan disesuaikan dengan tujuan dan fungsi penciptaan (QS. al-Hasyr
(59): 5). Pendekatan yang utilitarian
dan homosentris terhadap alam bertujuan untuk memanfaatkan alam demi
kesejahteraan masyarakat. Gifford Pinchot, salah seorang penganjur etika
perlindungan alam (conservation ethics), menyatakan bahwa sumber-sumber daya
alamiah hendaknya digunakan dengan bijaksana guna menciptakan ”kesejahteraan
optimal bagi sebanyak mungkin orang dalam kurun waktu selama mungkin pula”.
Untuk menjamin tercapainya tujuan itu, ia menganjurkan agar pengelolaan
lingkungan hidup serta sumber-sumber daya alamiah yang vital ditangani oleh
negara. Pihak pemerintah harus mengambil keputusan berdasarkan prinsip bahwa
masyarakat hendaknya mendapatkan manfaat yang besar dari usaha untuk memelihara
sumber-sumber daya alamiah yang dapat diperbarui (I. Bambang Sugiharto dan Agus
Rahmat W, 2000: 70).
2.
Peran Lingkungan dalam Pengembangan Karakter
Pembudayaan
karakter mulia perlu dilakukan demi terwujudnya karakter mulia yang merupakan
tujuan akhir dari suatu proses pendidikan. Budaya atau kultur yang ada di
lembaga, baik sekolah, kampus, maupun yang lain, berperan penting dalam
membangun karakter mulia di kalangan sivitas akademika dan para karyawannya.
Karena itu, lembaga pendidikan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
melakukan pendidikan karakter (pendidikan moral) bagi para peserta didik yang
didukung dengan membangun lingkungan yang kondusif baik di lingkungan kelas, sekolah,
tempat tinggal peserta didik, dan di tengah-tengah masyarakat.
Untuk
merealisasikan karakter mulia sangat perlu dibangun budaya atau kultur yang
dapat mempercepat terwujudnya karakter yang diharapkan. Kultur merupakan
kebiasaan atau tradisi yang sarat dengan nilai-nilai tertentu yang tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai aspek kehidupan. Kultur
dapat dibentuk dan dikembangkan oleh siapa pun dan di mana pun. Michele Borba menawarkan pola atau model
untuk pembudayaan karakter mulia. Ia menggunakan istilah “membangun kecerdasan
moral”. Dalam bukunya, Building Moral Intelligence: The Seven Essential Vitues
That Kids to Do The Right Thing (2001)
(Membangun Kecerdasan Moral: Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak Bermoral
Tinggi, 2008), Borba menguraikan berbagai cara untuk membangun kecerdasan
moral. Menurut Borba (2008: 4) kecerdasan moral adalah kemampuan seseorang
untuk memahami hal yang benar dan yang salah, yakni memiliki keyakinan etika
yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga ia bersikap
benar dan terhormat. Borba menawarkan cara untuk menumbuhkan karakter yang baik
dalam diri anak, yakni dengan menanamkan tujuh kebajikan utama (karakter
mulia): empati, hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati,
toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam kebajikan inilah yang dapat membentuk
manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun.
Empati
merupakan inti emosi moral yang membantu anak memahami perasaan orang lain.
Kebajikan ini membuatnya menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang
lain, mendorongnya menolong orang yang kesusahan atau kesakitan, serta
menuntutnya memperlakukan orang dengan kasih sayang. Hati nurani adalah suarahati
yang membantu anak memilih jalan yang benar daripada jalan yang salah serta
tetap berada di jalur yang bermoral; membuat dirinya merasa bersalah ketika
menyimpang dari jalur yang semestinya. Kontrol diri dapat membantu anak menahan
dorongan dari dalam dirinya dan berpikir sebelum bertindak, sehingga ia
melakukan hal yang benar, dan kecil kemungkinan mengambil tindakan yang
berakibat buruk. Kebajikan ini membantu anak menjadi mandiri karena ia tahu
bahwa dirinya bisa mengendalikan tindakannya sendiri. Sifat ini membangkitkan
sikap mural dan baik hati karena ia mampu menyingkirkan keinginan memuaskan
diri serta merangsang kesadaran mementingkan keperluan orang lain. Rasa hormat
mendorong anak bersikap baik dan menghormati orang lain. Kebajikan ini
mengarahkannya memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin orang lain
memperlakukan dirinya, sehingga mencegahnya bertindak kasar, tidak adil, dan
bersikap memusuhi. Dengan ini ia akan memerhatikan hak-hak serta perasaan orang
lain. Kebaikan hati membantu anak menunjukkan kepeduliannya terhadap
kesejahteraan dan perasaan orang lain. Dengan mengembangkan kebajikan ini, ia
lebih berbelas kasih terhadap orang lain dan tidak memikirkan diri sendiri,
serta menyadari perbuatan baik sebagai tindakan yang benar.
Toleransi
membuat anak mampu menghargai perbedaan kualitas dalam diri orang lain, membuka
diri terhadap pandangan dan keyakinan baru, dan menghargai orang lain tanpa
membedakan suku, gender, penampilan, budaya, agama, kepercayaan, kemapuan,
atau
orientasi seksual. Dengan toleransi ia akan memperlakukan orang lain denganbaik
dan penuh pengertian, menentang permusuhan, kekejaman, kefanatikan, serta
menghargai orang-orang berdasarkan karakter merea. Keadilan menuntun anak agar
memperlakukan orang lain dengan baik, tidak memihak, dan adil, sehingga ia
mematuhi aturan, mau bergiliran dan berbagi, serta mendengar semua pihak secara
terbuka sebelum memberi penilaian apa pun. Ia juga terdorong untuk membela
orang lain yang diperlakukan tidak adil dan menuntut agar setiap orang
diperlakukan setara (Borba, 2008: 7-8).
Dalam
buku 100 Ways to Enhance Values and Morality in Schools and Youth Settings
(1995), Howard Kirschenbaum menguraikan 100 cara untuk bisa meningkatkan nilai
dan moralitas (karakter/akhlak mulia) di sekolah yang bisa dikelompokkan ke
dalam lima metode, yaitu: 1) inculcating values and morality (penanaman
nilai-nilai dan moralitas); 2) modeling values and morality (pemodelan
nilai-nilai dan moralitas); 3) facilitating values and morality (memfasilitasi
nilai-nilai dan moralitas); 4) skills for value development and moral literacy
(ketrampilan untuk pengembangan nilai dan literasi moral; dan 5) developing a
values education program (mengembangkan program pendidikan nilai). Dari
pendapat Kirschenbaum ini maka semua guru harus meningkatkan kualitas pembelajaran
di sekolah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pembinaan karakter
siswa melalui proses pembelajaran di kelas dan juga membangun lingkungan yang
kondusif di luar kelas.
D.
Nilai-nilai Karakter yang Ditargetkan
Pendidikan
karakter di Universitas Negeri Yogyakarta yang dilaksanakan melalui berbagai
program adalah dalam rangka transformasi
dan pembudayaan nilai-nilai moral dasar. Ada banyak nilai karakter atau akhlak
mulia yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai
aspek kehidupan manusia, baik dalam berhubungan dengan Tuhan, dengan sesama
manusia, maupun dengan alam sekitarnya. Jika nilai-nilai ini bias direalisasikan dalam kehidupan manusia,
maka akan dihasilkan manusia yang paripurna (insan kamil) dan terciptalah kehidupan
yang bermartabat. Cukup banyak pakar pendidikan karakter yang memberikan
tawaran tentang nilai-nilai dasar yang harus dikembangkan untuk membangun
karakter seseorang. Dengan merujuk berbagai pakar pendidikan karakter, Ary
Ginanjar kemudian menetapkan tujuh nilai utama untuk membangun karakter, yaitu
kejujuran, tanggung jawab, visioner, kedisiplinan, kerja sama, keadilan, dan
kepedulian. Di samping mempertimbangkan pendapat para pakar pendidikan
karakter, Ary mengaitkan tujuh nilai utama itu dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam al-Asma’ al-Husna (Nama-nama Terbaik milik
Allah) dan merebaknya fenomena kemerosotan moral di Indonesia yang ditandai
dengan terjadinya krisis tujuh nilai utama tersebut (Darmiyati Zuchdi dkk.,
2009: 48).
Pemerintah
Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional, mencanangkan pendidikan
karakter bangsa mulai tahun 2010 dengan bertitik tolak pada empat nilai utama,
yaitu kejujuran (jujur), ketangguhan (tangguh), kepedulian (peduli), dan
kecerdasan (cerdas). Dari empat nilai utama ini, masing-masing lembaga
pendidikan dalam berbagai jenjang bisa mengembangkannya menjadi berbagai macam
nilai karakter yang diinginkan. Tentu saja untuk merealisasikannya tidak bisa
sekaligus, tetapi harus bertahap. Pembinaan karakter di Universitas Negeri
Yogyakarta sudah dimulai sejak tahun 2008 setelah diadakannya Seminar dan
Lokakarya Restrukturisasi
Pendidikan
Karakter.
Seminar
dan lokakarya ini telah menghasilkan sejumlah nilai target yang dipilih oleh
setiap kelompok peserta, yakni kelompok pimpinan, dosen, mahasiswa, dan tenaga
administrasi. Dari nilai-nilai target yang dipilih kemudian dilakukan analisis
terhadap frekuensi kemunculan pilihan nilai dari setiap kelompok, sebagai dasar
untuk menentukan nilai-nilai target yang dikembangkan di Universitas Negeri
Yogyakarta. Dari sekian banyak
nilai-nilai yang dimunculkan, akhirnya terpilih 16 nilai target, yaitu:
1.
Ketaatan beribadah, yakni pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang
diupayakan untuk selalu menjalankan ajaran agamanya.
2.
Kejujuran, yakni sikap dan perilaku
seseorang yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya selalu dapat dipercaya
dalam perkataan dan perbuatannya.
3.
Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugasdan
kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, baik terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan, negara, maupun Tuhan YME.
4.
Kedisiplinan, yakni sikap dan perilaku yang menunjukkan ketertiban dankepatuhan
terhadap berbagai ketentuan dan peraturan.
5.
Etos kerja, yakni sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan semangat dan
kesungguhan dalam melakukan suatu pekerjaan. Karakter inilah yang sekarang
terwujud dalam bentuk kerja sama, yakni sikap dan perilaku yang menunjukkan
upaya dalam melakukan suatu pekerjaan bersama-sama secara sinergis demi
tercapainya tujuan.
6.
Kemandirian, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada oranglain
dalam menyelesaikan tugas-tugas.
7.
Sinergi, yakni sikap dan perilaku yang menunjukkan upaya-upaya untuk memadukan berbagai
pekerjaan yang dilakukan.
8.
Kritis, yakni sikap dan perilaku yang berusaha untuk menemukan kesalahan atau
kelemahan maupun kelebihan dari suatu perbuatan.
9.
Kreatif dan inovatif, yakni berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan
termutakhir dari apa yang telah
dimiliki.
10.
Visioner, yakni pandangan, wawasan, dan kemampuan seseorang untuk membangun kehidupan masa depan yang
lebih baik.
11.
Kasih sayang dan kepedulian, yakni sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan
suatu perbuatan atas dasar cinta dan perhatian kepada orang lain maupun kepada
lingkungan dan proses yang terjadi di sekitarnya.
12.
Keikhlasan, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melakukan suatu perbuatan
dengan ketulusan hatinya.
13.
Keadilan, yakni sikap dan perilaku seseorang yang menunjukkan upaya untuk
melakukan perbuatan yang sepatutnya sehingga terhindar dari perbuatan yang
semena-mena dan berat sebelah.
14.
Kesederhanaan, yakni sikap dan perilaku yang menunjukkan kesahajaan dan tidak
berlebihan dalam berbagai hal.
15.
Nasionalisme, yakni cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
16.
Internasionalisme, yakni cara berpikir, bersikap, dan berbuat seseorang yang
menunjukkan bahwa bangsa dan negaranya merupakan bagian dari dunia sehingga
terdorong untuk mempertahankan dan memajukannya sehingga dapat berkiprah di
dunia internasional.
0 komentar:
Posting Komentar