Selasa, 07 Juni 2016

KONSEP ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM



KONSEP ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM
A.     Pengertian Ilmu Pengetahuan
Kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab yaitu  (alima, ya’lamu, ‘ilman) yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yg dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[1] Ilmu ialah deskripsi data pengalaman secara lengkap dan tertanggung jawabkan dalam rumusan-rumusannya yang sesederhana mungkin.[2]
Ilmu merupakan perkataan yang memiliki makna lebih dari satu arti. Oleh karenanya diperlukan pemahaman dalam memaknai apa yang dimaksud. Menurut cakupannya pertama-tama ilmu adalah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah dalam satu kesatuan. Dalam arti kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari pokok tertentu. Maksud dari pengertian ini adalah bahwa ilmu berarti suatu cabang ilmu khusus.[3]
Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Gerak pemikiran ini dalam kegiatannya mempergunakan lambang yang merupakan abtraksi dari objek yang sedang kita pikirkan. Bahasa adalah salah satu lambang tersebut dimana objek-objek kehidupan yang konkrit dinyatakan dengan kata-kata dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahun ini merupakan produk kegiatan berfikir yang merupakan obor peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna.[4]
B.      Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam
Orang yang membaca Al Qur’an akan mendapati materi ‘ilm yang terdapat dalam surah Makiyah dan Madaniyah secara seimbang dengan semua kata jadiannya;sebagai kata benda, kata kerja, atau kata keterangan beberapa ratus kali. Kata kerja ta’lamun(kamu mengetahui) terulang sebanyak 56 kali. Ditambah 3 kali dengan redaksifasata’lamun (maka kalian akan mengetahui), 9 kali dengan redaksi ta’lamu (kalian mengetahui), 85 kali dengan redaksi ya’lamun (mereka mengetahui), 7 kali dengan redaksi ya’lamu (mereka mengetahui) dan sekitar 47 kali terulang kata kerja ‘allamabeserta kata jadiannya.[5]
Dari pemaparan diatas ilmu dalam Islam menempati posisi yang sangat penting. Sehingga orang berilmu menempati kedudukan yang mulia, Allah SWT berfirman; “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Mujadalah: 11). Dalam satu hadits, mencari ilmu juga mendapatkan tempat yang mulia; “Barang siapa yang mencari ilmu maka ia di jalan Allah sampai ia pulang” (HR. Tirmidzi).
Wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan perintah membaca (iqra’). Tetapi, sejak awal, sudah diingatkan bahwa proses membaca tidak boleh dipisahkan dari ingat kepada Allah SWT. Harus dilakukan dengan mengingat nama Allah SwT (Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). Konsepsi Ilmu dalam Islam tidak memisahkan secara dikotomis antara iman dan ilmu pengetahuan. Tidak memisahkan unsur dunia dan unsur akhirat. Karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dipelajari bermuara pada satu tujuan penting, mengenal Allah, beribadah kepada-Nya dan kebahagiaan di akhirat.
Sehingga dalam Islam sendiri ilmu itu terkait dengan akidah. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan “Mengawali akidah (yang disusun oleh al-Nasafi) dengan pernyataan yang jelas tentang ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat penting, sebab Islam adalah agama yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Penyangkalan terhadap kemungkinan dan objektifitas ilmu pengetahuan akan mengakibatkan hancurnya dasar yang tidak hanya menjadi akar bagi agama, tetapi juga bagi semua jenis sains”.[6]
Orang yang bertambah ‘informasi pengetahuannya’, namun tidak bertambah imannya, maka orang tersebut dijauhkan dari petunjuk Allah. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka tidak akan bertambah kecuali dia akan makin jauh dari Allah SWT” (HR. al-Dailami). Beriman mensyaratkan untuk berilmu, seperti firman Allah swt, “Hanya orang-orang berilmu (ulama’) yang betul-betul takut kepada Allah” (QS Al-Fathir: 28).
Sementara kaum sofis berkeyakinan bahwa mengetahui hakikat sesuatu itu tidak mungkin. Dalam konteks beragama, manusia tidak mengetahui hakikat yang benar itu. Dalam Islam, pandangan ini ditolak. Manusia secara lahir, batin, mental dan spritiual diberi kemampuan untuk mengetahui. Dalam Islam, mengetahui itu tidak mustahil. Persoalannya, – yang membedakan dengan Barat – darimana kita mengetahui? Inilah persoalan sistem, dan kaidah mengetahui.
Dr. Syamsuddin Arif mengatakan sumber ilmu dalam Islam ada; persepsi indera (idrak al-hawas), proses akal sehat (ta’aqqul), intuisi sehat (qalb) dan khabar shadiq.Persepsi inderawi meliputi yang lima (indera pendengar, pelihat, perasa, penyium, penyentuh), daya ingat atau memori , penggambaran dan estimasi. Proses akal mencakup nalar dan alur pikir. Dengan alur pikir kita bisa berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat putusan dan menarik kesimpulan.
Selanjutnya dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap pesan-pesan isyarat ilahi, fath, ilham, kasyf dan sebagainya. Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar shadiq, yang berasal dari dan bersandar pada otoritas. Sumber khabar shadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya) yang diterima dan diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai ke akhir zaman.[7]
Dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu yang primer karena ia berkaitan langsung dengan realitas absolute, yaitu Allah SWT. Bahkan penggalian ilmu pengetahuan dapat ditemukan di dalam wahyu. Hal ini berbeda dengan Barat yang menolak sama sekali wahyu sebagai sumber ilmu. Wahyu tidak dapat diverifikasi secara ilmiah. Dalam konteks epistemologi, sebenarnya konsepsi Islam lebih komprehensif daripada Barat yang membatasi pada ranah empirik saja.[8]
Dari sisi ontologis, Tuhan merupakan aspek sentral dalam ilmu pengetahuan Islami. Pengetahuan Tuhan yang absolut ini dibutuhkan ketika indera dan akal manusia tidak mampu menerjemahkan realitas non-fisik. Maka di sini diperlukan pemahaman tentang konsep Tuhan yang benar. Pemahaman yang keliru tentang konsep Tuhan beserta aspek-aspek teologis lainnya berimplikasi terhadap epistemologi. Jika Tuhan yang diyakini itu hanya aspek transenden saja yang  memiliki sifat absolut, sedangkan Tuhan itu tidak imanen, maka tidak akan menghasilkan apa-apa terhadap ilmu pengetahuan Islam. [9]
Secara aksiologis, pemahaman tentang konsep Tuhan, wahyu, agama dan lainnya dijadikan sebagai sumber nilai. Sistem nilai tidak diambil dari pengalaman manusia atau fenomena sosial yang selalu berubah-ubah. Nilai dalam Islam tidak ‘on going proces’. Ia bersifat tetap dan harus termanifestasikan dalam setiap kerja-kerja ilmiah. Sehingga, Ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan harus memiliki visi nilai. Karena teologi mengimplikasikan epistemologi, maka teologi beserta aspek-aspeknya mempengaruhi proses berpikir seorang ilmuan. Teologi yang benar akan menghasilkan sistem epistemologi yang tepat pula sesuai dengan nilai Islam.
C.      Klasisifikasi Ilmu Pengetahuan
Al-Ghazali mengemukakan bahwa ada tiga jenis ilmu[10]. Pertama, ilmu rasional murni (‘aqli mahdh). Contoh yang diberikan al-Ghazali adalah aritmetika (al-hisab), geometri (al-handasa), dan astrologi (al-nujum). Ilmu-ilmu rasional ini, menurut al-Ghazali, tidak dianjurkan oleh agama untuk dipelajari. Alasan yang ia kemukakan sangat menarik yaitu ilmu-ilmu tersebut tidak seluruhnya benar, sebagian mengandung kebenaran, dan sebagian lagi hanyalah dugaan-dugaan atau spekulasi yang tak berdasar. Meski mengandung kebenaran, ilmu-ilmu itu, menurut al-Ghazali, tetap tiada guna karena hanya berurusan dengan kehidupan duniawi yang fana.
Kedua, adalah ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli. Kata “naqli” secara harafiah berarti sesuatu yang didengar atau dinukil dari sumber terdahulu. Contoh ilmu semacam ini adalah ilmu hadis dan tafsir. Tentu yang dimaksud oleh al-Ghazali di sini adalah genre tafsir yang dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur, yakni tafsir yang didasarkan pada hadits, pendapat para sahabat atau tabi’in. Ilmu-ilmu ini disebut sebagai “naqli” karena didasarkan pada riwayat atau pendapat otoritas terdahulu. Meskipun ada peran akal di sana, tapi sangatlah minimal karena yang diutamakan hanya ingatan yang kuat.
Ketiga adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan tradisi, antara penalaran dan riwayat. Ilmu semacam ini paling tinggi statusnya dalam pandangan al-Ghazali, sebab di sana akal dan wahyu bekerja secara serentak. Contoh ilmu semacam ini antara lain adalah ushul fiqh, yakni ilmu yang mengulas cara-cara untuk menentukan hukum dari dalil-dalil agama yang bersifat umum. Ilmu ushul fiqh disebut sebagai ilmu “aqnali” sebab di sana akal tidak berjalan sendirian, begitu pula wahyu atau tradisi tidak merupakan sumber utama. Baik wahyu dan akal bekerja secara bersama-sama. Karena itu, ushul fiqh adalah ilmu yang statusnya lebih tinggi dan mulia ketimbang ilmu hadis atau tafsir.
Al-Ghazali mengemukakan argumen tambahan untuk mendukung pendapatnya tentang keunggulan ilmu aqnali. Yakni, bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak dilandaskan pada taqlid semata yang menjadi ciri utama ilmu naqli, begitu pula ia tidak bersandar pada akal murni. Taqlid atau meniru secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara itu berpegangan pada akal semata juga tidak dapat dibenarkan oleh agama. Ilmu yang unggul adalah yang berdiri di tengah-tengah antara akal dan wahyu.
Memang benar kenyataannya bahwa tidak semua persoalan dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan. Bagaimanapun juga ilmu pengetahuan itu memiliki batas-batas tertentu untuk memecahkan masalah. Masalah-masalah yang diluar atau diatas jangkauan ilmu pengetahuan yang secara otomatis tidak bisa terselesaikan maka akan diserahkan kepada filsafat.[11] Tentu kita dalam berfilsafat dengan cara apapun tidak boleh menyimpang dari Al Qur’an dan Hadits, karena didalam itu semua ada petunjuk dari Allah SWT.


0 komentar:

Posting Komentar