Helenis atau
Helenisasi, istilah ini berasal dari kata Yunani Helen (Istilah yang dipakai
oleh orang Yunani untuk menyebutkan etnik mereka). Helenis juga adalah
istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan perubahan kultural di mana sesuatu
yang bersifat bukan Yunani menjadi Yunani (peradaban Helenistik, pemikiran
Helenistik inilah yang menjadi perhatian kalangan pemikir filsafat Arab Islam).[1][7] Prosesnya ada yang bersifat sukarela, serta ada dengan penggunaan
kekuatan. Iskandar/Aleksander Agung menyebarkan wawasan peradaban Yunani,
termasuk pula di dalamnya bahasa. Hasilnya adalah, beberapa unsur yang berasal
dari Yunani digabung dalam bentuk yang bervariasi dengan unsur lain dari
peradaban daerah yang dikuasai, yang dikenal dengan Helenisme.[2][8]
Hellenisme terbagi dalam 2 macam
yaitu:
a.
Hellenisme
klasik: Yaitu kebudaya’an yunani yang berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM.
b.
Hellenisme
secara umum: Istilah yang menunjukkan kebudaya’an yang merupakan gabungan
antara budaya Yunani dan budaya Asia kecil, Syiria, Mesopotomia,dan Mesir yang
lebih tua.
Filsafat helenisme berasal dari filsafat hellens (nama orang) termasuk kaum
zabaniyah, yang mencari kebenaran melalui akal. Filsafat Hellenisme menurut
pengertian etika adalah “Manusia hendaknya mengikuti saja suratan takdir dan
penentuan alam baginya.[3][9]
Dengan demikian, ia akan mencapai harmoni dengan alam yang akan membawanya kepada
kebahagiaan (eudaimonia). Jadi, hukum alam harus ditaati terlepas dari
perasaan senang atau tidak, menguntungkan atau merugikan, mengenakkan atau
menjengkelkan. Soalnya bagi Zenon, kebahagiaan terletak dalam tekad keras
menjalankan kewajiban demi hukum alam yang objektif, bukan demi perasaan atau
selera subjektif orang perorang.
Sebelum lahirnya filsafat islam baik didunia timur maupun dunia barat telah
terdapat bermacam-macam alam pikiran, diantaranya yang terkanal ialah pikiran
mesir kuno, pikiran sumeria, babilonia, dan assurya, pikiran iran, pikiran
india, pikiran cina dan pikiran yunani. Boleh jadi, pikiran-pikiran iran dan
india sedikit banyak telah memberikan sumbangan pada pembentukan filsafat
islam, tetapi yang tampak jelas sekali hubungannya, bahkan menjadi sumber(bukan
sumber utama) bagi filsafat islam ialah filsafat yunani.
Filsafat yunani yang sampai kepada dunia islam tidaklah seperti yang
ditinggalkan oleh orang-orang yunani sendiri, baik melalui orang-orang Masehi
Nestoria dan Jakobites maupun melalui golongan-golongan lainnya.
Akan tetapi filsafat sampai kapada
mereka melalui pemikiran Hellenisme Romawi yang mempunyai cirri khas tertentu
yang m,empengaruhi filsafat itu sendiri. Oleh karena itu tidak semua
pikiran-pikiran filsafat yang sampai pada dunia Islam berasal dari Yunai, baik
dalam teks-teks aslinya maupun dalam ulasan-ulasannya, melainkan hasil dari dua
fase yang berturut-turut, yaitu “Fase Hellenisme” dan “Fase Hellenisme Romawi”.
Oleh karena itu, dalam pikiran filsafat terdapat dua corak yang berbeda atau
dua corak yang bercampur, sesuai dengan perbedaan alam pikiran pada dua masa
yang membicarakannya.
Fase Hellenisme ialah ketika pemikiran
filsafat hanya dimiliki oleh orang-orang Yunani, yaitu sejak abad ke-6 atau
ke-5 SM sampai akhir abad ke-4 SM. Adapun Fase Hellenisme Romawi (Greko Romawi) ialah fase yang
datang sesudah fase Hellenisme, dan meliputi semua pemikiran filsafat yang ada
pada masa kerajaan romawi, yang ikut serta membicaraan peningggalan Yunani,
antara lain pemikiran Romawi di Barat dan pemikiran di Timur yang ada di Mesir
dan Siria. Fase ini dimulai dari akhir abad ke-4 SM sampai pertengahan abad
ke-7 M di Iskandariah, atau sampai abad ke-8 M di Siria dan Irak, yaitu aliran
Urfa, Ar-Ruha, Nissibis, dan Antiochia, atau sampai pada masa penerjemahan di
dunia Arab-Islam.[4][12].
A. Akibat Interaksi Intelektual Muslim dengan
Non-Muslim
Dengan tanpa
dimaksudkan untuk mengesampingkan atau mensubordinasikan wahyu dalam arti
sempit, kemajuan yang dicapai Islam pada masa klasik sangat erat hubungannya
dengan terjadinya interaksi antara Islam dan aneka ragam kebudayaan yang
berkembang saat itu, seperti yang terdapat di Bizantium, daerah-daerah
Mesopotamia, Persia, India, dan Cina. Interaksi ini kemudian melahirkan hal-hal
yang positif karena adanya sikap terbuka kalangan Islam untuk mempelajari dan
menerima sesuatu yang ditemukannya.
Kendatipun demikian, Islam tidak serta merta
dengan pasif mengambil seluruh keilmuan yang ada, melainkan menyeleksinya
dengan baik sehingga tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip Islam yang
fundamental. Kemudian, Islam mengembangkan ilmu yang diperolehnya ini dengan
kreatif sehingga pada gilirannya melahirkan penemuan-penemuan baru yang dapat
dikontribusikan dalam dunia ilmu pengetahuan. Dengan demikian patut kiranya
apabila kemudian diskursus keilmuan Islam ini tidak dikatakan sebagai carbon
copy Yunani atau pinjaman atau helenisasi atau rekapitulasi dari anekaragam
kebudayaan yang ada dan sempat memberikan inspirasi, melainkan islamisasi berbagai
tradisi keilmuan. Islamisasi ini meliputi semua aspek, ontologi, epistemologi,
dan aksiologinya, di samping juga diekspresikannya dalam bahasa Islam.
Terjadinya islamisasi berbagai
tradisi keilmuan ini mempunyai berbagai implikasi; di antaranya adalah
pemfusian ilmu-ilmu yang berserakan di berbagai tempat, yang tentunya berbentuk
lokal, menjadi satu kesatuan. Di samping itu, adanya pembebasan ilmu-ilmu yang
ada ini dari berbagai bentuk lokal, etnis, mitologi, dan lain sebagainya
kemudian membentuknya dalam skala yang universal.
B. Hubungan Hellenisme dengan Kemajuan
Pendidikan Islam
Pemikiran
hellenistik pertama kali menjadi perhatian umat islam setelah mereka tertarik
kepada teologi. Perdebatan antara umat islam dan Kristen yang dilaksanakan
dimajlis-majelis oleh khalifah-khalifah dinasti
Umayyah, menyebabkan umat islam mengenal kebudayaan Hellenistik, seperti
istilah-istilah dalam hellenistik, argument-argumen rasional, dan ilmu sastra[3].
Keteraikan umat islam terhadap kebudayaan Yunani dilanjutkan dengan
penerjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab. Penerjemahan ini pertama
kali dilakukan dimasa Dinasti Umayyah. Ketertarikan umat islam akan warisan
Yunani semakin besar setelah terjadi kontak yang semakin dekat dengan warisan
Yunani. Semenjak al-Manshur naik tahta, umat islam semakin hari semakin terbawa
oleh pengaruh peradaban Yunani. Dan terjadilah pentransferan karya-karya Yunani
kedalam islam dalam skala besar. Pengoperan budaya warisan Yunani yang telah
dirintis oleh al-Manshur dilanjutkan oleh Khalifah al-Rasyid. Lalu oleh
al-Makmun, ia selangkah lebih maju dari ayahnya dengan mendirikan Bait
Al-Hikmah, suatu lembaga dan perpustakaan rasional untuk kegiatan
penelitian dan penerjemahan pada 830 M.
Maka muncullah nama-nama yang sukses
pada masa selanjutnya seperti al-Kindi sebagai perintis intelektual muslim,
nama lengkapnya Abu Ya’kub bin Ishaq al-kindi (wafat sekitar 257/870). Dia
dikenal sebagai Failusuf al-’Arab. Lalu al-Farabi, Abu Ali Husein bin
Abdillah bin Sina ditanganya filsafat islam mencapai puncaknya karenanya ia
diberi gelar kehormatan sebagai “al-Syaikh al-Rais” (kiayi Utama). Dibidang
kedokteran, muncul nama Ibn Rusyd, Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi
(865-925). Membuktikan kemajuan kaum muslimin pada masa klasik dan tidak luput
dari pengaruh hellenistik diawal interksinya dengan dunia islam. Tapi juga
perlu di perhatikan bahwa para pemikir, perintis, maupun filosof muslim bukan
sekedar mengikuti pemikiran hellenisme, namun memberikan kontribusi yang lebih
besar dengan munculnya nama-nama penemu, pemikir, dokter muslim yang kenamaan
bahkan menemukan teori-teori baru yang penting dalam perkembangan peradaban
secara Universal.
C.
Pengaruh
Hellenisme Terhadap Pendidikan Islam
pendidikan islam di masa klasik
dapat dikatakan maju bahkan dianggap telah mencapai masa keemasan dalam
sepanjang sejarah.sejak permulaan penerjemahan karya-karya pemikiran
yunani,pendidikan islam mengalami kemajuan pesat baik dalam materi
pengajarannya(kurikulum)maupun lembaga pendidikan.
lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya mengajarkan pengetahuan agama,mulai mengajarkan ilmu pengetahuan,seperti:matematika,filsafat,dan kedokteran.misalnya,di kuttab,yaitu:salah satu dari lembaga pendidikan tingkat dasar,pada abad pertama masa islam hanya mengajarkan pelajaran membaca dan menulis,kemudian diajarkan pula pendidikan keagamaan. Sejak abad ke-8 M,Kuttab mulai mengajarkan pelajaran ilmu pengetahuan disamping ilmu agama.
Sistem pendidikan di masa klasik tidak dikenal sekolah tingkat menengah yang
ada hanya lembaga pendidikan tingkat dasar dan lembaga pendidikan tingkat
tinggi.
Menurut
mahmud yunus kurikulum sekolah tingkat tinggi dibagi menjadi dua yaitu :
ilmu-ilmu naqliyah(ilmu yang bersumber pada
al-Qur'an dan al-Hadits) dan ilmu-ilmu aqliyah (ilmu yang bersumber pada
akal).ilmu-ilmu naqliyah meliputi tafsir,al-Qur'an,hadits,fikih,usul
fikih,nahwu/sharaf,balaghah,dan bahasa arab serta kesustraan arab.sedangkan
ilmu-ilmu aqliyah meliputi mantiq/logika,ilmu alam dan kimia,musik,ilmu
pasti,ilmu ukur matematik, falak(astronomi),ilmu kalam,ilmu hewan,ilmu
tumbuh-tumbuhan dankedokteran.
Setelah
menguasai karya-karya hellenisme,ilmuwan-ilmuwan islam mengadakan
pengamatan,penelitian,dan pengkajian lebih jauh sehingga mereka berhasil
menemukan teori-teori baru di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.pemikiran
hellenisme yang mereka transmisikan dalam karya-karya pemikiran islam bukanlah
sekedar terjemahan atau jiplakan,tetapi merupakan karya asli umat islam.wacana
intelektual islam mengalami kemajuan pesat.kontak dengan hellenisme bukan hanya
mempengaruhi lahirnya berbagai wacana di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat
islam,tetapi juga pemikiran-pemikkiran keagamaan,seperti
teologi,tafsir,bahasa,hukum islam dan sebagainya.masa klasik islam adalah
periode kejayaan dan keemasan peradaban islam.
Disamping
kurikulum yang berkembang sebagai akibat pengaruh peradaban yunani,lembaga
pendidikanpun mengalami perkembangan dengan pesat. Lembaga-lembaga pendidikan
islam seperti:kuttab,mesjid,halaqah,dan majlis mengajarkan materi pelajaran
yang berkaitan dengan keagamaan.pada perkembangan berikutnya,diajarkan materi
pelajaran tentang ilmu pengetahuan dan filsafat.akibatnya,lembaga-lembaga
pendidikan islam mengalami perubahan karakteristik,bahkan munculnya
bentuk-bentuk lembaga pendidikanbaru,serta menyebabkan terjadinya dualisme
lembaga pendidikan islam,yaitu:
1.lembaga pendidikan islam yang terbuka pada pengetahuan umum.
2.lembaga pendidikan islam yang tertutup terhadap pengetahuan umum.
1.lembaga pendidikan islam yang terbuka pada pengetahuan umum.
2.lembaga pendidikan islam yang tertutup terhadap pengetahuan umum.
D. Pertemuan Pemikiran Yunani dan
Arab-Islam (Helenisme)
Proses helenisme (pertemuan
antara budaya Yunani-Roma dengan Arab-Islam), terjadi dalam dua gelombang. Pertama,
pertemuan dalam bentuk pemikiran, yakni pemikiran filsafat Yunani dan berpengaruh
pada pemikiran Arab-Islam yang dimulai lewat proses
penterjamahan-penterjamahan, terjadi selama 2 abad; antara tahun 750-950 M. kedua,
pertemuan dalam bentuk kontak senjata, yakni dalam perang Salib yang
disusul serbuan tentara Hulagu ke Baghdad yang menutup sejarah panjang dinasti
Bani Abbas, terjadi antara tahun 1095-1258 M.
Dalam helenisme gelombang
pertama, banyak sesuatu yang baru diperoleh dan mengubah pemikiran Arab-Islam.
Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa pemikiran rasional Arab-Islam
bersumber pada filsafat Yunani. Menurut bebrapa penulis, seperti Oliver Leaman,
dan Qadir, pemikiran rasional Arab-Islam (Filsafat) tidak bersumber atau
diimport dari filsafat Yunani tetap benar-benar berdasar pada ajaran-ajaran
pokok Islam sendiri, al-Qur’an dan al-Sunnah. Meski demikian, diakui bahwa
rasionalisme tersebut kemudian menjadi lebih berkembang pesat setelah bertemu
dengan logika-logika Yunani lewat penterjamahan-penterjamahan yang dilakukan.
1. Bayani Arab-Islam vs
Yunani-Roma
Ada perbedaan mendasar antara pola piker
Arab-Islam dengan pola pikir Yunani. Dalam tradisi Arab, apa yang dimaksud
berfikir (aql) adalah lebih merupakan tindakan atau penjelasan bagaimana
seseorang harus berbuat, yang dalam epistemologi Islam disebut “Bayani”. Kamus
istilah Arab sendiri mengartikan akal sebagai suluk dan akhlak, yakni jalan dan
prilaku. Sementara itu dalam tradisi Yunani, akal lebih merupakan pemikiran
yang berkaitan dengan upaya mencari sebab dari sesuatu yang dalam epistemologi
Islam dikenal “Burhani”.
Perbedaan pola pikir di atas disebabkan adanya perbedaan pijakan yang
digunakan. Dalam pola pikir Arab-Islam, pijakan utama adalah kata atau bahasa,
sementara pola pikir Yunani berpijak pada makna dan logika. Dalam perdebatan
yang terkenal antara Abu Sa’id al-syirafi (893-979 M) yang ahli bahasa dan
penganut metode bayani dengan Abu Bisyr Matta (870-940) yang ahli logika Yunani
dan penganut burhani,[5][16]
terlihat jelas perbedaan tersbut.
Dengan
adanya perbedaan yang tajam antara pola pikir Yunani dengan Arab-Islam sepert
di atas, maka bisa kita pastikan bahwa masuknya pemikiran Yunani kedalam alam
pikiran Arab-Islam menimbulkan reaksi yang cukup keras.
2. Filsafat Yunani menurut
Pemikiran Arab-Islam
Peradaban
dan peemikiran Yunani, termasuk filsafat menurut catatan para sejarawan,[6][17] telah mulai dikenaldan dipelajari oleh kaum
sarjana di kota Antioch, Harran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara),
juga di Nisibis dan Ras’aina sejak abad ke IV M. kegiatan akademik tetap
berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim kewilaya
tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khatthob (634-644 M).
setidaknya in ibis dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di
biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh-tokoh yang menghasilkan
karya-karya filsafat, seperti Severas sebokht (W. 667 M) yang mengomentari hermeneutica
dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion
dan menterjamahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku
dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang diterjamahkan kedalam bahasa Arab dalam
prode ini, yakni pada kekhalifahan Bani Umayyah (661-750 M), khususnya pada
masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-750 M) adalah terutama yang berkaitan
dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi
pemerintahan, demi mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh mudel
administrasi Bizantium-Persia.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu
dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abbas,
khususnya sejak program penterjamahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa
kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang di anggap sebagai tonggak
sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagaan
Arab-Islam, pertemuan epistemology burhani Yunani dengan epistemology bayani
Arab.
Adapun
ilmu-ilmu yang berhubungan dengan humaniora di antaranya adalah sejarah dan
filsafat.
a. Sejarah
Penulisan
sejarah dalam Islam tampak menggunakan model Persia, seperti karya seorang
Pahlavi, Khudlay-namah yang disalin ke bahasa Arab oleh Ibnu al-Muqoffa, 757,
dengan judul Siyar Muluk al-‘Ajam. Di antara sejarawan Islam terbesar adalah
al-Thabari, 838 - 923, dengan karya besarnya Tarikh al-Rasul wa al-Muluk, di
samping tafsir al-Qur‘annya. Dalam menulis buku sejarahnya, al-Thabari
menggunakan data dari hadis-hadis yang disampaikan secara lisan, yang
dikumpulkan selama rikhlah ilmiahnya, dan dari kuliah-kuliah yang diperoleh
dari guru-gurunya di Baghdad dan di pusat-pusat studi lainnya, seperti, Persia,
Iraq, Syiria, dan Mesir.
Selain
al-Thabari adalah al-Mas‘udi, w. 956; berbeda dengan al-Thabari yang menyusun
tulisannya secara kronologis, al-Mas‘udi menulis sejarahnya menurut topiknya
seperti dinasti raja-raja dan pelaku-pelaku sejarah. Metode penulisan seperti
ini kemudian diikuti oleh Ibnu Khaldun dan lain-lain. Sebagaimana al-Thabari,
al-Mas‘udi penganut paham Mu‘tazilah ini melakukan rikhlah ilmiah dari tempat
kelahirannya, Baghdad, sampai ke hampir seluruh negara Asia bahkan Zanzibar;
kemudian selama dekade terakhir dari hidupnya al-Mas‘udi menghabiskannya di
Syiria dan Mesir, dengan menulis Muruj al-Dzhahab wa Ma‘adin al Jawhar sebanyak
tiga volume. Hitti menilai bahwa karya ini ditulis secara universal dan langka;
penelitiannya menjangkau subjek-subjek di luar umat Islam, yang khas menjadi
Indo-Persia-Roman dan sejarah Yahudi.
b. Filsafat
Sebenarnya
filsafat Islam bersumber dari al-Qur‘an dan al-Sunah; tetapi, tidak dapat
dipungkiri bahwa di dalamnya terdapat unsur asing terutama pemikiran Helenisme.
Filsafat ini pada mulanya, seperti yang dinyatakan Stanton, ditransfer oleh
sarjana dari museum Athena ke museum Alexandria. Selanjutnya, kalangan Kristen
khususnya Nistorian dan Neoplatonisme, mengadopsinya kemudian menyebarkannya ke
daerah-daerah Bizantium. Jadi, Islam menerima atau mewarisi filsafat yang telah
mengalami Helenisasi ini.
Tokoh
filsafat pertama dalam Islam adalah al-Kindi, 796 - 873. Ia mencoba untuk
mengkombinasikan pemikiran Plato dan Aristoteles yang telah mengalami
Helenisasi. Al-Kindi, menurut Stanton, menyumbangkan tiga konsep utama, yaitu
satu model ilmu filsafat, yang masih berkomunikasi dengan prinsip-prinsip dasar
pemikiran Islam. Di samping itu, ia memberi penilaian dan mengembangkan
penggunaan pengetahuan yang didapat dari kalangan luar Islam serta memadukannya
dengan keilmuan Islam. Al-Kindi juga memformulasikan metode filsafat Yunani ke
dalam intelektualisme Islam dengan mendiskusikan penggunaan silogisme,
dialektik, dan pendekatan-pendekatan rasional lainnya untuk menambah
pengetahuan.
Di samping
dalam bidang-bidang keilmuan di atas, kalangan Islam juga giat belajar ilmu
pengetahuan sosial, seperti geografi dan politik.
Helenisasi ataukah Islamisasi
Berbagai Tradisi Keilmuan?
Untuk
memberikan “justifikasi” terhadap wacana keilmuan Islam di masa klasik, apakah
Helenisasi ataukah Islamisasi, ada baiknya apabila sebelumnya diketengahkan
pengertian kedua istilah tersebut; dari pengertian ini diharapkan dapat
dipahami termasuk kategori yang manakah keilmuan yang ada dalam Islam itu.
Helenisasi
adalah suatu upaya untuk membuat atau menjadikan sesuatu bersifat Helenik atau
Helenistik, seperti dalam hal bahasa, ide-ide, dan bentuk-bentuk. Dalam
hal ini tentunya pihak yang aktiflah lebih tepat untuk menyandang predikat.
Dengan kata lain, apabila yang lebih aktif dan yang dominan dari suatu
kebudayaan itu helenik atau helenistik, maka dinamakan helenisasi. Akan tetapi,
apabila yang aktif dan dominan bukan kebudayaan helenik atau helenistik, maka
semestinya tidak dikatakan helenisasi sebab pengambilan atau peminjaman
terhadap suatu kebudayaan yang lebih tua itu merupakan hal yang umum terjadi
sepanjang sejarah. Adapun Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam26
atau membuatnya dan menjadikannya Islam.
Mengenai
Islamisasi ilmu pengetahuan ini setidak-tidaknya dapat ditinjau dari tiga
aspek, ontologi ilmu tersebut, epistemologi, dan aksiologinya. Jika dilihat
dari segi ontologinya, ilmu yang ada dalam Islam meliputi tiga klasifikasi
(meminjam istilah kontemporer), ilmu kealaman, humaniora dan ilmu sosial.
Hampir senada dengan klasifikasi ini Ibnu Bultan, abad ke-11 H, sebagaimana
yang dikutip oleh Bassam Tibi dari Maqdisi, yang menyatakan bahwa ilmu itu
dibagi tiga, ilmu-ilmu alam, filsafat dan ilmu kealaman, dan intelektual atau
ilmu literatur.
Jika
dilihat dari sudut ini, ilmu alam, misalnya, seperti yang dikutip Kirmani bahwa
content ilmu pengetahuan ini netral. Dengan demikian, ilmu itu tidak perlu
diislamkan atau mungkin juga tidak perlu dihelenisasikan. Lebih-lebih seperti
yang diketahui pada bagian sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan yang ada dalam
Islam itu berasal dari berbagai tradisi keilmuan, yakni bukan hanya dari
helenik atau helenistik. Oleh karena itu, tidaklah pada tempatnya apabila
dinyatakan sebagai Helenisasi; akan tetapi, lebih dekat apabila disebut
sebagai rekapitulasi dari berbagai tradisi keilmuan yang ada.
Walaupun
demikian, istilah yang terakhir ini belum tepat karena Islam mengembangkan ilmu
yang didapatkannya itu secara kreatif sehingga tidak sedikit temuan-temuan yang
disumbangkannya.
Apabila
ditinjau dari segi epistemologi, metode yang dipergunakannya, keilmuan Islam
klasik menurut Nasr menggunakan metode pluralistik. Yang demikian ini adalah
valid dan komprehensif, yang mana realitas dianggap eksis dalam aneka ragam
tingkatan, yang dihubungkan secara hirarkis.
Konsep ini
adalah realitas multidimensional; hubungan hirarkisnya, menurut Kirmani,
mengembangkan sistem nilai yang cukup komprehensif untuk mengesahkan
metode-metode spiritual dalam bidang sains.
Menurut
Sardar, sebagaimana disinyalir Kirmani bahwa interelasi ilmu dalam Islam
merupakan aspek penting dari epistemologi Islam; pencarian ilmu adalah bukan
wajib dalam dirinya, tetapi merupakan suatu bentuk ibadah dan berhubungan
dengan setiap nilai al-Quran seperti khilafah, adil, dan istishlah. Metode yang
holistik dari epistemologi Islam dan penekanannya pada kesatuan ilmu dan nilai,
material dan metafisik, menyebabkan ilmu Islam ini unik sifatnya.
Kemudian
dari segi aksiologinya, jelas bahwa Islam sangat mementingkan nilai dalam ilmu
yang dikembangkannya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa dilihat
dari ketiga aspeknya, ontologi, epistemologi, dan aksiologinya, diskursus
keilmuan Islam klasik secara umum adalah sebagai islamisasi. Oleh karena itu,
tepatlah apabila Lapidus sampai pada suatu konklusi bahwa hasil konfigurasi
kebudayaan yang dilakukan Islam itu tanpa diragukan adalah murni dan islami.
[1][7] . pemikiran hellenistik pertama kali menjadi perhatian
kalangan Muslim adalah karena interes mereka dalam permasalahn teologi. Perdaban antara muslim dan keristen
yang berlangsung didalam istana khalifah Umayyah yang toleran mengarahkan
pemikir-pemikir muslim pada keluar Kristen Yunani. Peristilahan helenistik,
bentu-bentuk argumentasi rasional dan beberapa metode kepustakaan. Pertemuan
pertama yang berlangsung didemaskus ini diteruskan oleh kegiatan riset di
Baghdad, dan oleh kegiatan penerjamahan karya-karya Yunani dan Syiria kedalam
Bahasa Arab. Di Bayt al-Hikmah, karya-karya logika, keilmuan dan
karya-karya teknik berbahasa Yunani dan Syiria diterjamahkan kedalam bahsa
arab. Karya-karya tersebut termasuk naskah-naskah logika Aristoteles, dan
beberapa karya dan Hipocrates.
[2][8] . Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam “Bagian
Kesatu & kedua”, trj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT. RjaGrafindo
Persada, 1999), hlm, 141.
1 komentar:
kunjungi juga :
http://www.ruangwacana.com/2017/05/pertemuan-hellenisme-dengan-peradaban.html
Posting Komentar