Minggu, 29 Mei 2016

helenisasi pemikiran Islam



Helenis atau Helenisasi, istilah ini berasal dari kata Yunani Helen (Istilah yang dipakai oleh orang Yunani untuk menyebutkan etnik mereka). Helenis juga adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan perubahan kultural di mana sesuatu yang bersifat bukan Yunani menjadi Yunani (peradaban Helenistik, pemikiran Helenistik inilah yang menjadi perhatian kalangan pemikir filsafat Arab Islam).[1][7] Prosesnya ada yang bersifat sukarela, serta ada dengan penggunaan kekuatan. Iskandar/Aleksander Agung menyebarkan wawasan peradaban Yunani, termasuk pula di dalamnya bahasa. Hasilnya adalah, beberapa unsur yang berasal dari Yunani digabung dalam bentuk yang bervariasi dengan unsur lain dari peradaban daerah yang dikuasai, yang dikenal dengan Helenisme.[2][8]




Hellenisme terbagi dalam 2 macam yaitu:
a.       Hellenisme klasik: Yaitu kebudaya’an yunani yang berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM.
b.      Hellenisme secara umum: Istilah yang menunjukkan kebudaya’an yang merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya Asia kecil, Syiria, Mesopotomia,dan Mesir yang lebih tua.

Filsafat helenisme berasal dari filsafat hellens (nama orang) termasuk kaum zabaniyah, yang mencari kebenaran melalui akal. Filsafat Hellenisme menurut pengertian etika adalah “Manusia hendaknya mengikuti saja suratan takdir dan penentuan alam baginya.[3][9]

Dengan demikian, ia akan mencapai harmoni dengan alam yang akan membawanya kepada kebahagiaan (eudaimonia). Jadi, hukum alam harus ditaati terlepas dari perasaan senang atau tidak, menguntungkan atau merugikan, mengenakkan atau menjengkelkan. Soalnya bagi Zenon, kebahagiaan terletak dalam tekad keras menjalankan kewajiban demi hukum alam yang objektif, bukan demi perasaan atau selera subjektif orang perorang.

Sebelum lahirnya filsafat islam baik didunia timur maupun dunia barat telah terdapat bermacam-macam alam pikiran, diantaranya yang terkanal ialah pikiran mesir kuno, pikiran sumeria, babilonia, dan assurya, pikiran iran, pikiran india, pikiran cina dan pikiran yunani. Boleh jadi, pikiran-pikiran iran dan india sedikit banyak telah memberikan sumbangan pada pembentukan filsafat islam, tetapi yang tampak jelas sekali hubungannya, bahkan menjadi sumber(bukan sumber utama) bagi filsafat islam ialah filsafat yunani.
Filsafat yunani yang sampai kepada dunia islam tidaklah seperti yang ditinggalkan oleh orang-orang yunani sendiri, baik melalui orang-orang Masehi Nestoria dan Jakobites maupun melalui golongan-golongan lainnya.
 Akan tetapi filsafat sampai kapada mereka melalui pemikiran Hellenisme Romawi yang mempunyai cirri khas tertentu yang m,empengaruhi filsafat itu sendiri. Oleh karena itu tidak semua pikiran-pikiran filsafat yang sampai pada dunia Islam berasal dari Yunai, baik dalam teks-teks aslinya maupun dalam ulasan-ulasannya, melainkan hasil dari dua fase yang berturut-turut, yaitu “Fase Hellenisme” dan “Fase Hellenisme Romawi”. Oleh karena itu, dalam pikiran filsafat terdapat dua corak yang berbeda atau dua corak yang bercampur, sesuai dengan perbedaan alam pikiran pada dua masa yang membicarakannya.
Fase Hellenisme ialah ketika pemikiran filsafat hanya dimiliki oleh orang-orang Yunani, yaitu sejak abad ke-6 atau ke-5 SM sampai akhir abad ke-4 SM. Adapun Fase Hellenisme Romawi (Greko Romawi) ialah fase yang datang sesudah fase Hellenisme, dan meliputi semua pemikiran filsafat yang ada pada masa kerajaan romawi, yang ikut serta membicaraan peningggalan Yunani, antara lain pemikiran Romawi di Barat dan pemikiran di Timur yang ada di Mesir dan Siria. Fase ini dimulai dari akhir abad ke-4 SM sampai pertengahan abad ke-7 M di Iskandariah, atau sampai abad ke-8 M di Siria dan Irak, yaitu aliran Urfa, Ar-Ruha, Nissibis, dan Antiochia, atau sampai pada masa penerjemahan di dunia Arab-Islam.[4][12].

A.     Akibat Interaksi Intelektual Muslim dengan Non-Muslim
Dengan tanpa dimaksudkan untuk mengesampingkan atau mensubordinasikan wahyu dalam arti sempit, kemajuan yang dicapai Islam pada masa klasik sangat erat hubungannya dengan terjadinya interaksi antara Islam dan aneka ragam kebudayaan yang berkembang saat itu, seperti yang terdapat di Bizantium, daerah-daerah Mesopotamia, Persia, India, dan Cina. Interaksi ini kemudian melahirkan hal-hal yang positif karena adanya sikap terbuka kalangan Islam untuk mempelajari dan menerima sesuatu yang ditemukannya.
 Kendatipun demikian, Islam tidak serta merta dengan pasif mengambil seluruh keilmuan yang ada, melainkan menyeleksinya dengan baik sehingga tidak berbenturan dengan prinsip-prinsip Islam yang fundamental. Kemudian, Islam mengembangkan ilmu yang diperolehnya ini dengan kreatif sehingga pada gilirannya melahirkan penemuan-penemuan baru yang dapat dikontribusikan dalam dunia ilmu pengetahuan. Dengan demikian patut kiranya apabila kemudian diskursus keilmuan Islam ini tidak dikatakan sebagai carbon copy Yunani atau pinjaman atau helenisasi atau rekapitulasi dari anekaragam kebudayaan yang ada dan sempat memberikan inspirasi, melainkan islamisasi berbagai tradisi keilmuan. Islamisasi ini meliputi semua aspek, ontologi, epistemologi, dan aksiologinya, di samping juga diekspresikannya dalam bahasa Islam.
Terjadinya islamisasi berbagai tradisi keilmuan ini mempunyai berbagai implikasi; di antaranya adalah pemfusian ilmu-ilmu yang berserakan di berbagai tempat, yang tentunya berbentuk lokal, menjadi satu kesatuan. Di samping itu, adanya pembebasan ilmu-ilmu yang ada ini dari berbagai bentuk lokal, etnis, mitologi, dan lain sebagainya kemudian membentuknya dalam skala yang universal.


B.      Hubungan Hellenisme dengan Kemajuan Pendidikan Islam
            Pemikiran hellenistik pertama kali menjadi perhatian umat islam setelah mereka tertarik kepada teologi. Perdebatan antara umat islam dan Kristen yang dilaksanakan dimajlis-majelis oleh khalifah-khalifah dinasti         Umayyah, menyebabkan umat islam mengenal kebudayaan Hellenistik, seperti istilah-istilah dalam hellenistik, argument-argumen rasional, dan ilmu sastra[3]. Keteraikan umat islam terhadap kebudayaan Yunani dilanjutkan dengan penerjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab. Penerjemahan ini pertama kali dilakukan dimasa Dinasti Umayyah. Ketertarikan umat islam akan warisan Yunani semakin besar setelah terjadi kontak yang semakin dekat dengan warisan Yunani. Semenjak al-Manshur naik tahta, umat islam semakin hari semakin terbawa oleh pengaruh peradaban Yunani. Dan terjadilah pentransferan karya-karya Yunani kedalam islam dalam skala besar. Pengoperan budaya warisan Yunani yang telah dirintis oleh al-Manshur dilanjutkan oleh Khalifah al-Rasyid. Lalu oleh al-Makmun, ia selangkah lebih maju dari ayahnya dengan mendirikan Bait Al-Hikmah, suatu lembaga dan perpustakaan rasional untuk kegiatan penelitian dan penerjemahan pada 830 M.
Maka muncullah nama-nama yang sukses pada masa selanjutnya seperti al-Kindi sebagai perintis intelektual muslim, nama lengkapnya Abu Ya’kub bin Ishaq al-kindi (wafat sekitar 257/870). Dia dikenal sebagai Failusuf al-’Arab. Lalu al-Farabi, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Sina ditanganya filsafat islam mencapai puncaknya karenanya ia diberi gelar kehormatan sebagai “al-Syaikh al-Rais” (kiayi Utama). Dibidang kedokteran, muncul nama Ibn Rusyd, Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi (865-925). Membuktikan kemajuan kaum muslimin pada masa klasik dan tidak luput dari pengaruh hellenistik diawal interksinya dengan dunia islam. Tapi juga perlu di perhatikan bahwa para pemikir, perintis, maupun filosof muslim bukan sekedar mengikuti pemikiran hellenisme, namun memberikan kontribusi yang lebih besar dengan munculnya nama-nama penemu, pemikir, dokter muslim yang kenamaan bahkan menemukan teori-teori baru yang penting dalam perkembangan peradaban secara Universal.

C.    Pengaruh Hellenisme Terhadap Pendidikan Islam
pendidikan islam di masa klasik dapat dikatakan maju bahkan dianggap telah mencapai masa keemasan dalam sepanjang sejarah.sejak permulaan penerjemahan karya-karya pemikiran yunani,pendidikan islam mengalami kemajuan pesat baik dalam materi pengajarannya(kurikulum)maupun lembaga pendidikan.

lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya mengajarkan pengetahuan agama,mulai mengajarkan ilmu pengetahuan,seperti:matematika,filsafat,dan kedokteran.misalnya,di kuttab,yaitu:salah satu dari lembaga pendidikan tingkat dasar,pada abad pertama masa islam hanya mengajarkan pelajaran membaca dan menulis,kemudian diajarkan pula pendidikan keagamaan. Sejak abad ke-8 M,Kuttab mulai mengajarkan pelajaran ilmu pengetahuan disamping ilmu agama.
Sistem pendidikan di masa klasik tidak dikenal sekolah tingkat menengah yang ada hanya lembaga pendidikan tingkat dasar dan lembaga pendidikan tingkat tinggi.
Menurut mahmud yunus kurikulum sekolah tingkat tinggi dibagi menjadi dua yaitu :
 ilmu-ilmu naqliyah(ilmu yang bersumber pada al-Qur'an dan al-Hadits) dan ilmu-ilmu aqliyah (ilmu yang bersumber pada akal).ilmu-ilmu naqliyah meliputi tafsir,al-Qur'an,hadits,fikih,usul fikih,nahwu/sharaf,balaghah,dan bahasa arab serta kesustraan arab.sedangkan ilmu-ilmu aqliyah meliputi mantiq/logika,ilmu alam dan kimia,musik,ilmu pasti,ilmu ukur matematik, falak(astronomi),ilmu kalam,ilmu hewan,ilmu tumbuh-tumbuhan dankedokteran.
Setelah menguasai karya-karya hellenisme,ilmuwan-ilmuwan islam mengadakan pengamatan,penelitian,dan pengkajian lebih jauh sehingga mereka berhasil menemukan teori-teori baru di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.pemikiran hellenisme yang mereka transmisikan dalam karya-karya pemikiran islam bukanlah sekedar terjemahan atau jiplakan,tetapi merupakan karya asli umat islam.wacana intelektual islam mengalami kemajuan pesat.kontak dengan hellenisme bukan hanya mempengaruhi lahirnya berbagai wacana di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat islam,tetapi juga pemikiran-pemikkiran keagamaan,seperti teologi,tafsir,bahasa,hukum islam dan sebagainya.masa klasik islam adalah periode kejayaan dan keemasan peradaban islam.
Disamping kurikulum yang berkembang sebagai akibat pengaruh peradaban yunani,lembaga pendidikanpun mengalami perkembangan dengan pesat. Lembaga-lembaga pendidikan islam seperti:kuttab,mesjid,halaqah,dan majlis mengajarkan materi pelajaran yang berkaitan dengan keagamaan.pada perkembangan berikutnya,diajarkan materi pelajaran tentang ilmu pengetahuan dan filsafat.akibatnya,lembaga-lembaga pendidikan islam mengalami perubahan karakteristik,bahkan munculnya bentuk-bentuk lembaga pendidikanbaru,serta menyebabkan terjadinya dualisme lembaga pendidikan islam,yaitu:
1.lembaga pendidikan islam yang terbuka pada pengetahuan umum.
2.lembaga pendidikan islam yang tertutup terhadap pengetahuan umum.
D.    Pertemuan Pemikiran Yunani dan Arab-Islam (Helenisme)
Proses helenisme (pertemuan antara budaya Yunani-Roma dengan Arab-Islam), terjadi dalam dua gelombang. Pertama, pertemuan dalam bentuk pemikiran, yakni pemikiran filsafat Yunani dan berpengaruh pada pemikiran Arab-Islam yang dimulai lewat proses penterjamahan-penterjamahan, terjadi selama 2 abad; antara tahun 750-950 M. kedua, pertemuan dalam bentuk kontak senjata, yakni dalam perang Salib yang disusul serbuan tentara Hulagu ke Baghdad yang menutup sejarah panjang dinasti Bani Abbas, terjadi antara tahun 1095-1258 M.
Dalam helenisme gelombang pertama, banyak sesuatu yang baru diperoleh dan mengubah pemikiran Arab-Islam. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa pemikiran rasional Arab-Islam bersumber pada filsafat Yunani. Menurut bebrapa penulis, seperti Oliver Leaman, dan Qadir, pemikiran rasional Arab-Islam (Filsafat) tidak bersumber atau diimport dari filsafat Yunani tetap benar-benar berdasar pada ajaran-ajaran pokok Islam sendiri, al-Qur’an dan al-Sunnah. Meski demikian, diakui bahwa rasionalisme tersebut kemudian menjadi lebih berkembang pesat setelah bertemu dengan logika-logika Yunani lewat penterjamahan-penterjamahan yang dilakukan.

1.         Bayani Arab-Islam vs Yunani-Roma
Ada perbedaan mendasar antara pola piker Arab-Islam dengan pola pikir Yunani. Dalam tradisi Arab, apa yang dimaksud berfikir (aql) adalah lebih merupakan tindakan atau penjelasan bagaimana seseorang harus berbuat, yang dalam epistemologi Islam disebut “Bayani”. Kamus istilah Arab sendiri mengartikan akal sebagai suluk dan akhlak, yakni jalan dan prilaku. Sementara itu dalam tradisi Yunani, akal lebih merupakan pemikiran yang berkaitan dengan upaya mencari sebab dari sesuatu yang dalam epistemologi Islam dikenal “Burhani”.
Perbedaan pola pikir di atas disebabkan adanya perbedaan pijakan yang digunakan. Dalam pola pikir Arab-Islam, pijakan utama adalah kata atau bahasa, sementara pola pikir Yunani berpijak pada makna dan logika. Dalam perdebatan yang terkenal antara Abu Sa’id al-syirafi (893-979 M) yang ahli bahasa dan penganut metode bayani dengan Abu Bisyr Matta (870-940) yang ahli logika Yunani dan penganut burhani,[5][16] terlihat jelas perbedaan tersbut.
Dengan adanya perbedaan yang tajam antara pola pikir Yunani dengan Arab-Islam sepert di atas, maka bisa kita pastikan bahwa masuknya pemikiran Yunani kedalam alam pikiran Arab-Islam menimbulkan reaksi yang cukup keras.

2.       Filsafat Yunani menurut Pemikiran  Arab-Islam
Peradaban dan peemikiran Yunani, termasuk filsafat menurut catatan para sejarawan,[6][17] telah mulai dikenaldan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Harran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras’aina sejak abad ke IV M. kegiatan akademik tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim kewilaya tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khatthob (634-644 M). setidaknya in ibis dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh-tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas sebokht (W. 667 M) yang mengomentari hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjamahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang diterjamahkan kedalam bahasa Arab dalam prode ini, yakni pada kekhalifahan Bani Umayyah (661-750 M), khususnya pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-750 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh mudel administrasi Bizantium-Persia.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abbas, khususnya sejak program penterjamahan buku-buku   filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang di anggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagaan Arab-Islam, pertemuan epistemology burhani Yunani dengan epistemology bayani Arab.
Adapun ilmu-ilmu yang berhubungan dengan humaniora di antaranya adalah sejarah dan filsafat.
a.       Sejarah
Penulisan sejarah dalam Islam tampak menggunakan model Persia, seperti karya seorang Pahlavi, Khudlay-namah yang disalin ke bahasa Arab oleh Ibnu al-Muqoffa, 757, dengan judul Siyar Muluk al-‘Ajam. Di antara sejarawan Islam terbesar adalah al-Thabari, 838 - 923, dengan karya besarnya Tarikh al-Rasul wa al-Muluk, di samping tafsir al-Qur‘annya. Dalam menulis buku sejarahnya, al-Thabari menggunakan data dari hadis-hadis yang disampaikan secara lisan, yang dikumpulkan selama rikhlah ilmiahnya, dan dari kuliah-kuliah yang diperoleh dari guru-gurunya di Baghdad dan di pusat-pusat studi lainnya, seperti, Persia, Iraq, Syiria, dan Mesir.
Selain al-Thabari adalah al-Mas‘udi, w. 956; berbeda dengan al-Thabari yang menyusun tulisannya secara kronologis, al-Mas‘udi menulis sejarahnya menurut topiknya seperti dinasti raja-raja dan pelaku-pelaku sejarah. Metode penulisan seperti ini kemudian diikuti oleh Ibnu Khaldun dan lain-lain. Sebagaimana al-Thabari, al-Mas‘udi penganut paham Mu‘tazilah ini melakukan rikhlah ilmiah dari tempat kelahirannya, Baghdad, sampai ke hampir seluruh negara Asia bahkan Zanzibar; kemudian selama dekade terakhir dari hidupnya al-Mas‘udi menghabiskannya di Syiria dan Mesir, dengan menulis Muruj al-Dzhahab wa Ma‘adin al Jawhar sebanyak tiga volume. Hitti menilai bahwa karya ini ditulis secara universal dan langka; penelitiannya menjangkau subjek-subjek di luar umat Islam, yang khas menjadi Indo-Persia-Roman dan sejarah Yahudi.
b.      Filsafat
Sebenarnya filsafat Islam bersumber dari al-Qur‘an dan al-Sunah; tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalamnya terdapat unsur asing terutama pemikiran Helenisme. Filsafat ini pada mulanya, seperti yang dinyatakan Stanton, ditransfer oleh sarjana dari museum Athena ke museum Alexandria. Selanjutnya, kalangan Kristen khususnya Nistorian dan Neoplatonisme, mengadopsinya kemudian menyebarkannya ke daerah-daerah Bizantium. Jadi, Islam menerima atau mewarisi filsafat yang telah mengalami Helenisasi ini.
Tokoh filsafat pertama dalam Islam adalah al-Kindi, 796 - 873. Ia mencoba untuk mengkombinasikan pemikiran Plato dan Aristoteles yang telah mengalami Helenisasi. Al-Kindi, menurut Stanton, menyumbangkan tiga konsep utama, yaitu satu model ilmu filsafat, yang masih berkomunikasi dengan prinsip-prinsip dasar pemikiran Islam. Di samping itu, ia memberi penilaian dan mengembangkan penggunaan pengetahuan yang didapat dari kalangan luar Islam serta memadukannya dengan keilmuan Islam. Al-Kindi juga memformulasikan metode filsafat Yunani ke dalam intelektualisme Islam dengan mendiskusikan penggunaan silogisme, dialektik, dan pendekatan-pendekatan rasional lainnya untuk menambah pengetahuan.
Di samping dalam bidang-bidang keilmuan di atas, kalangan Islam juga giat belajar ilmu pengetahuan sosial, seperti geografi dan politik.
Helenisasi ataukah Islamisasi Berbagai Tradisi Keilmuan?
Untuk memberikan “justifikasi” terhadap wacana keilmuan Islam di masa klasik, apakah Helenisasi ataukah Islamisasi, ada baiknya apabila sebelumnya diketengahkan pengertian kedua istilah tersebut; dari pengertian ini diharapkan dapat dipahami termasuk kategori yang manakah keilmuan yang ada dalam Islam itu.
Helenisasi adalah suatu upaya untuk membuat atau menjadikan sesuatu bersifat Helenik atau Helenistik, seperti dalam hal bahasa, ide-ide, dan bentuk-bentuk.  Dalam hal ini tentunya pihak yang aktiflah lebih tepat untuk menyandang predikat. Dengan kata lain, apabila yang lebih aktif dan yang dominan dari suatu kebudayaan itu helenik atau helenistik, maka dinamakan helenisasi. Akan tetapi, apabila yang aktif dan dominan bukan kebudayaan helenik atau helenistik, maka semestinya tidak dikatakan helenisasi sebab pengambilan atau peminjaman terhadap suatu kebudayaan yang lebih tua itu merupakan hal yang umum terjadi sepanjang sejarah. Adapun Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam26 atau membuatnya dan menjadikannya Islam.
Mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan ini setidak-tidaknya dapat ditinjau dari tiga aspek, ontologi ilmu tersebut, epistemologi, dan aksiologinya. Jika dilihat dari segi ontologinya, ilmu yang ada dalam Islam meliputi tiga klasifikasi (meminjam istilah kontemporer), ilmu kealaman, humaniora dan ilmu sosial. Hampir senada dengan klasifikasi ini Ibnu Bultan, abad ke-11 H, sebagaimana yang dikutip oleh Bassam Tibi dari Maqdisi, yang menyatakan bahwa ilmu itu dibagi tiga, ilmu-ilmu alam, filsafat dan ilmu kealaman, dan intelektual atau ilmu literatur.
 Jika dilihat dari sudut ini, ilmu alam, misalnya, seperti yang dikutip Kirmani bahwa content ilmu pengetahuan ini netral. Dengan demikian, ilmu itu tidak perlu diislamkan atau mungkin juga tidak perlu dihelenisasikan. Lebih-lebih seperti yang diketahui pada bagian sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan yang ada dalam Islam itu berasal dari berbagai tradisi keilmuan, yakni bukan hanya dari helenik atau helenistik. Oleh karena itu, tidaklah pada tempatnya apabila dinyatakan sebagai Helenisasi; akan tetapi, lebih dekat apabila disebut sebagai rekapitulasi dari berbagai tradisi keilmuan yang ada.
Walaupun demikian, istilah yang terakhir ini belum tepat karena Islam mengembangkan ilmu yang didapatkannya itu secara kreatif sehingga tidak sedikit temuan-temuan yang disumbangkannya.
Apabila ditinjau dari segi epistemologi, metode yang dipergunakannya, keilmuan Islam klasik menurut Nasr menggunakan metode pluralistik. Yang demikian ini adalah valid dan komprehensif, yang mana realitas dianggap eksis dalam aneka ragam tingkatan, yang dihubungkan secara hirarkis.
Konsep ini adalah realitas multidimensional; hubungan hirarkisnya, menurut Kirmani, mengembangkan sistem nilai yang cukup komprehensif untuk mengesahkan metode-metode spiritual dalam bidang sains.
Menurut Sardar, sebagaimana disinyalir Kirmani bahwa interelasi ilmu dalam Islam merupakan aspek penting dari epistemologi Islam; pencarian ilmu adalah bukan wajib dalam dirinya, tetapi merupakan suatu bentuk ibadah dan berhubungan dengan setiap nilai al-Quran seperti khilafah, adil, dan istishlah. Metode yang holistik dari epistemologi Islam dan penekanannya pada kesatuan ilmu dan nilai, material dan metafisik, menyebabkan ilmu Islam ini unik sifatnya.
Kemudian dari segi aksiologinya, jelas bahwa Islam sangat mementingkan nilai dalam ilmu yang dikembangkannya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa dilihat dari ketiga aspeknya, ontologi, epistemologi, dan aksiologinya, diskursus keilmuan Islam klasik secara umum adalah sebagai islamisasi. Oleh karena itu, tepatlah apabila Lapidus sampai pada suatu konklusi bahwa hasil konfigurasi kebudayaan yang dilakukan Islam itu tanpa diragukan adalah murni dan islami.

















[1][7] . pemikiran hellenistik pertama kali menjadi perhatian kalangan Muslim adalah karena interes mereka dalam permasalahn  teologi. Perdaban antara muslim dan keristen yang berlangsung didalam istana khalifah Umayyah yang toleran mengarahkan pemikir-pemikir muslim pada keluar Kristen Yunani. Peristilahan helenistik, bentu-bentuk argumentasi rasional dan beberapa metode kepustakaan. Pertemuan pertama yang berlangsung didemaskus ini diteruskan oleh kegiatan riset di Baghdad, dan oleh kegiatan penerjamahan karya-karya Yunani dan Syiria kedalam Bahasa Arab. Di Bayt al-Hikmah, karya-karya logika, keilmuan dan karya-karya teknik berbahasa Yunani dan Syiria diterjamahkan kedalam bahsa arab. Karya-karya tersebut termasuk naskah-naskah logika Aristoteles, dan beberapa karya dan Hipocrates.
[2][8] . Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam “Bagian Kesatu & kedua”, trj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT. RjaGrafindo Persada, 1999), hlm, 141.
[3][9] . A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jogyakarta: Bulan Bintang, 1969), hlm, 40
[4][12] . A. Hanafi, hlm, 42
[5][16].  Oliver Leaman, Op. cit. hlm, 12-13.
[6][17] . Philip K. Hitti, Op. Cit, hlm, 241

1 komentar:

wisata majnun mengatakan...

kunjungi juga :
http://www.ruangwacana.com/2017/05/pertemuan-hellenisme-dengan-peradaban.html

Posting Komentar