Faktor
penyebab kemunduran pendidikan islam
Faktor penyebab
kemunduran pendidikan islam
Kemunduran pendidikan Islam dapat
ditinjau dari dua aspek, aspek internal yang merupakan faktor yang terjadi
dalam diri umat Islam sendiri dan faktor eksternal yaitu faktor-faktor dari
luar umat Islam yang ikut memberikan saham bagi mundurnya pendidikan umat
Islam.[1] Faktor
internal atau faktor dari dalam diri umat Islam yang memegang peranan penting
bagi kemunduran pendidikan Islam yang bermuara pada stagnasi pola pikir umat
ini pada mulanya ialah disebabkan oleh ditinggalkannya pelajaran-pelajaran yang
bersifat logika pada lembaga-lembaga pendidikan umat Islam dan diganti dengan
pelajaran-pelajaran yang bersifat naqliyah. Hal ini terjadi karena kekhawatiran
umat islam ketika itu terhadap terulangnya kembali peristiwa mihnah yang telah
membawa banyak korban dan menyisakan kepedihan.
Dalam catatan sejarah sebelumnya, ketika
faham Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab dan faham Negara oleh Pemerintahan
Bani Abbas, pendidikan Islam mencapai puncak kemajuannya. Namun, kemudian
terjadilah sebuah peristiwa berdarah yang terkenal dengan peristiwa mihnah yang
dimotori oleh kaum Mu’tazilah. Inti dari peristiwa mihnah ini ialah
diundangnyaa orang-orang dan ditanyakan kepada mereka apakah kitab suci Al
Qur’an itu makhluq atau bukan. Apabila mereka mengingkari bahwa Al Qur’an itu
bukan makhluq maka mereka akan disiksa dan bahkan ada diantara mereka yang
dibunuh karena berpegang bahwa al Qur’an itu bukan makhluq. Pemaksaan ide
semacam ini telah menimbulkan banyak korban di kalangan tokoh-tokoh sunni yang
berpendirian bahwa Al Qur’an itu bukan makhluq tetapi ia qadim. Perlakuan
oarang-orang Mu’tazilah ini mendapat pengakuan dan dudkungan dari penguasa
ketika itu yakni pemerintahan Daulah Bani Abbas yang membuat para pengikut
Sunni menjadi sangat resah dan merasa tertekan.
Kondisi yang sangat memprihatinkan yang
terjadi padaaa peristiwa mihnah berlanjut hingga pada suatu ketika salah
seorang penguasa dari daulah Bani Abbas, Al Mutawakkil menyatakan bahwa Mazhab
Mu’tazilah tidak lagi dianggap dan menjadi mazhab negara dan digantikan dengan
mazhab Asy’ariyah. Kebijakan Khalifah Al Mutawakkil menyebabkan
kondisi berbalik. Aliran Mu’tazilah yang dahulu dilindungi oleh negara menjadi
sangat tertekan dan termarginalkan. Ketika golongan Sunni memegang otoritas
politik, tokoh-tokoh dari kalangan Mu’tazilah diusir. Dan golongan sunni
akhirnya menjadi kelompok manusia yang antipati terhadap ilmu-ilmu rasional
yang sebelumnya dikembangkan oleh orang-orang Mu’tazilah. Secara perlahan-lahan, umat Islam mulai menjauhi
ilmu-ilmu pengetahuan yang bersifat aqliyah. Seakan-akan umat Islam merasa
takut bahwa peristiwa mihnah akan terulang kembali jika mereka mempelajari
ilmu-ilmu aqliyah. Umat Islam yang mempelajari ilmu-ilmu aqliyah semakin
sedikit dan itupun dilakukan secara perorangan. Bahkan sebagian orang
Mu’tazilah mempelajarinya secara sembunyi-sembunyi seperti yang dilakukan oleh
kelompok Ikhwanussafa.
Cukup menarik kiranya apa yang
dikemukakan oleh Syed Amir Ali dalam bukunya the spirit of Islam yang telah
diterjemahkan dalam Api Islam bahwa agama Muhammad SAW, seperti juga agama Isa
AS, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan
pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam
suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih
besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai
hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas
manusia telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam. Pendapat bahwa
rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah menjadi sebab binasanya
jiwa-jiwa.[2]
Sebagai konsekuensi logis ditinggalkannya
ilmu-ilmu yang bersifat aqliyah dan digantikan dengan ilmu-ilmu yang bersifat
naqliyah saja, perkembangan ilmu-ilmu yang bersifat rasional menjadi surut.
Sebaliknya, ilmu-ilmu naqliyah dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang bersumber
dari Islam sehingga umat Islam secara umum lebih cenderung mempelajari
ilmu-ilmu keagamaan dari pada ilmu-ilmu rasional. Oleh karena itu kegiatan
pendidikan Islamhanya menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu
pengetahuan yang berkembang hanyalah pemikiran ilmu keagaqmaan khususnya ilmu
fiqh. Ketika ilmu fiqh berkembang menjadi kaku dan akal kehilangan peranannya
dalam fiqh, taklidpun berkembang, sedangkan pintu ijtihad seakan-akan telah
tertutup. Pada akhirnya terjadilah apa yang disebut stagnasi pemikiran
umat Islam.
Faktor ekstern yang menjadi pemicu
kemunduran pendidikan umat Islam adalah serangan orang-orang Tartar dan Mongol
pada masa pertengahan abad ke 13 yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Abbasiyah,
ketika kota Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan
dibumihanguskan. Sekitar 800.000 penduduk kota Bagdad dibunuh dalam peristiwa
penyerangan tersebut. Perpustakaan dihancurkan dan ribuan rumah penduduk
dibakar. Dalam peristiwa tersebut umat Islam kehilanganlembaga-lembaga
pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga nilainya bagi
pendidikan Islam. Musnahnya ribuan buku, baik buku-buku keagamaan maupun
buku-buku tentang ilmu-ilmu sains dan filsaft mempengaruhi perkembangan
intelektualisme Islam, apalagi yang menyangkut kelestarian ilmu-ilmu
pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Berbagai literature ilmu pengetahuan
sains dan filsafat telah lenyap dan hangus terbakar.
Kedua faktor di atas telah menyebabkan
kehidupan intelektual masyarakat Muslim terus mencekam. Apalagi berkembangnya
sikap hidup fatalis dalam masyarakat. Keadaan ini menyebabkan umat Islam hanya
bergantung dan mengembalikan segala keuntungan dan penderitaan mereka pada
keadilan Tuhan. Mereka yang memilih sikap hidup fatalis tidak lagi memiliki
kepercayaan kepada kemampuannya untuk maju ataupun mengatasi masalah yang
menimpa mereka dalam bidang kemasyarakatan dan keagamaan. Mereka lari dari
kenyataan dan hanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka masuk ke dalam
ajaran-ajaran tarekat, berdo’a sebanyak-banyaknya dan memohon keadilan Tuhan
untuk mengembalikan kejayaan yang pernah mereka capai sebelumnya.[3]
Sementara itu Hilmy Bakar Almascaty dalam
catatannya yang terangkum dalam Membangun Kembali Sistem Pendidkan Kaum
Muslimin mengemukakan bahwa kehancuran Bagdad yang memusnahkan hampir seluruh
warisan intelektual kaum Muslimin terdahulu telah melahirkan sikap defensif
cendekiawan Muslim yang sangat ekstrim. Keadaan ini sangat mempengaruhi metode
intelektual kaum Muslimin. Kemudian pada puncaknya mereka menutup pintu ijtihad
yang merupakan puncak kegemilangan Islam dalam mendorong pengikutnya untuk
melahirkan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif yang digunakan untuk
merespon keadaan zamannya. Peristiwa ini adalah merupakan salah satu tragedy
terbesar dalam sejarah perkembangan intelektual umat Islam. Akibatnya para
cendekiawan sesudahnya hanya membahas dan mensyarah kitab-kitab pendahulu
mereka dengan memberikan komentar-komentar detil yang kadangkala mengaburkan
inti permasalahan yang dibahas, dan akhirnya justru mendangkalkan pemikiran
mereka yang hanya bertaqlid mengikuti pendahulu mereka.[4]
Pada bagian yang lain, Muhammad Abdul
Halim Mursi tidak jauh berbeda dalam memberikan keterangan sebab-sebab
kemunduran pendidikan Islam. Dalam catatannya yang terangkum dalam Westernisasi
dalam Pendidikan Islam, ia mengemukakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab
kondisi umat Islam semakain hari semakin merosot dan terbelakang ialah ketika
khalafah Islam di bagdad mendapatkan serangan dari bangsa Tartar yang datang
dari Asia Tengah yang menyerang Bagdad secara membabi buta, menghancurkan dan
membakar segala fasilitas milik kaum Muslimin yang ada di Bagdad.[5] Inilah dua faktor utama yang menjadi sebab kemunduran
pendidikan Umat Islam.
Dalam tataran kontekstual kemunduran
pendidikan Islam pada saat ini bukan hanya disebabkan oleh faktor dari luar
umat Islam yang memang berusaha merongrong pendidikan Islam melalui budaya yang
mereka hembuskan. Akan tetapi dari dalam umat Islam sendiri timbulnya
keengganan di kalangan umat Islam untuk keluar dari kejumudan berfikir. Di
samping – sebagaimana dimaklumi- kondisi social politik mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap kemajuan pendidikan Islam. Apabila umat Islam tidak ingin
terlena dan tertidur pulas serta terus menerus dalam kejumudan dan
keterpurukan, maka umat ini harus bangkit dan menyusun kembali strategi dalam
menyahuti tantangan kontemporer.
Dan pada umumnya madrasah dibangun untuk
mendalami fiqih diantara empat madzhab. Sehingga tanpa disadari terjadi
pembakuan terhadap empat madzhab fiqih dikalangan umat islam. Hal inilah yang
mengakibatkan seolah-olah terdapat kesan bahwa pintu ijtihad telah ditutup.
Oleh karena itu banyak ilmuan yang enggan berijtihad untuk memecahkan
masalah-masalah kemasyarakatan dan keagamaan yang timbul dikalangan umat islam.
D.Unsur-Unsur
Pendidikan yang Mengalami Kemunduran
Kemunduran dan kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran
pada masa ini, nampak jelas dari sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata
pelajaran yang ada di madrasah-madrasah pada umumnya. Dengan telah menyempitnya
bidang-bidang ilmu pengetahuan umum, dan tidak adanya perhatian kepada
ilmu-ilmu kealaman, maka kurikulum di madrasah-madrasa pada umumnya hanya terbatas
pada ilmu-ilmu pengetahuan agama, ditambah sedikit gramatika dan bahasa sebagai
alat yang diperlukan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri dari
Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqh, dan ilmu kalam.[6]
Pada masa itu juga berkembang pendidikan sufi.[7]
Mata pelajarannya sangat sederhana, yang ternyata jumlah
total buku-buku yang harus dipelajari pada suatu tingkatan (bahkan pada tingkat
tertinggi sekalipun) sangat sedikit. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
studi pun relatif singkat. Sehingga materi pelajaran yang diterima kurang
mendalam. Semua ini disebabkan karena sistem pengajaran pada masa itu sangat
berorientasi pada buku pelajaran, bukan pada pelajaran itu sendiri. Oleh karena
itu, sering terjadi pelajaran hanya memberi komentar atau saran terhadap
buku-buku pelajaran yang dijadikan pegangan oleh guru. Sehingga, pada masa ini
perkembangan ilmu pengetahuan macet total. Tidak ada bukubuku baru yang
dihasilkan. Buku yang muncul pada masa ini hanya berupa komentar terhadap
buku-buku yang sudah ada.
Selain itu, unsur penting dalam pendidikan yang juga mengalami kemunduran adalah semangat dalam mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan.Hal ini disebabkan oleh perkembangan aliran pemikiran tradisionalisme.
Selain itu, unsur penting dalam pendidikan yang juga mengalami kemunduran adalah semangat dalam mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan.Hal ini disebabkan oleh perkembangan aliran pemikiran tradisionalisme.
E.
Profil pendidikan islam Masa Kemunduran
Pada masa jayanya pendidikan Islam,
kedua pola pendidikan tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang
berpadu dan saling melengkapi.[8]
Setelah pola pemikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat
(Eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam
dunia Islam tinggal pola pemikiran sufistis, yang sifatnya memang sangat
memperhatikan kehidupan batin, sehingga mengabaikan perkembangan dunia
material. Pola pendiddikan yang dikembangkannya pun tidak lagi menghasilkan
perkembangan budaya Islam yang bersifat material. Dari aspek kemunduran, atau
setidak-tidaknya pendidikan islam dikatakan mengalami
kemandegan.
Jatuhnya kota Baghdad di tangan
Hulagu Khan pada tahun 1250 M. bukan saja pertanda yang awal dari berakhirnya
supremasi Khilafah Abbasyiyah dalam dominasi politiknya, tetapi berdampak
sangat luas bagi perjalanan sejarah umat Islam yang dikenal sebagai titik awal
kemunduran umat Islam di bidang Politik dan Peradaban Islam yang selama
berabad-abad lamanya menjadi kebanggaan umat. Pada masa jayanya kota Baghdad
dikenal secara luas adalah pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat
kaya dengan khazanah Ilmu Pengetahuan dan filsafat yang telah berhasil mengguli
kota-kota lain yang dikenal sebagai pusat peradaban manusia. Dengan
dibumihanguskannya kota Baghdad berikut kekayaan intelektual yang ada
didalamnya, maka berakhirlah kebesaran pemerintahan Islam masa lalu, baik dalam
wilayah kekuasaan maupun intelektual.
Penghancuran pusat kebudayaan Islam
itu juga berakibat hilangnya dan putusnya akar sejarah intelektual yang telah
dengan susah payah dibangun pada masa awal-awal Islam . Adanya kekalahan
politik itu berpengaruh besar pada cara pandang dan berpikirnya umat Islam yang
telah mulai mengalihkan pandangan dan pemikiran umat Islam yang semula berpaham
dinamis berubah menjadi berpaham fatalis. Berubahnya paradigma berpikir itu
amat disayangkan oleh banyak penganjur pembaharuan pemikiran Islam yang datang
pada masa-masa kemudian. Muhammad Iqbal misalnya pernah menulis kekecewaannya
itu di dalam suatu buku “During the last five hundred years religious thought
ini Islam has been practically stationary”(Hampir sepanjang lima ratus tahun
lamanya pemikiran di dalam Islam praktis menjadi statis).
Kemunduran dan kehancuran Islam di
Baghdad, di satu sisi menurut sebagian pemerhati sejarah Islam yang masih
melihat adanya harapan, jika ingin jujur tidaklah dapat dikatakan sebagai
kemunduran dan kehancuran Islam secara total. Sebab di belahan dunia lain,
dengan tidak dapat dibantah adanya suatu kenyataan sejarah Islam yang lain
karena telah berhasil menancapkan kemajuannya di daerah Spanyol di bawah pemerintahan
Islam. Tetapi sesungguhnya kemajuan yang mereka banggakan itu sifatnya juga
sangat kecil dan tidak sporadis, karena hanya terbatas pada wilayah Granada
saja. Dan secara politik penguasa Islam di Granada yaitu Bani Ahmar (1332 M s/d
1492 M). hanya berkuasa pada wilayah yang sangat kecil. Jadi Argumentasi
jatuhnya Baghdad sebagai permulaan terjadinya kemunduran Islam argumentasi yang
sangat dapat diterima.
Adanya kemandegan dan kemunduran
dalam segala bidang secara praktis sangat mempengaruhi juga bidang kajian
Pendidikan Islam. Kalau Pendidikan Islam di masa kemajuannya telah berhasil
memberikan sumbangan dalam melahirkan sumber daya manusia unggulan melalui
lembaga-lembaga pendidikan-nya yang belum pernah dikenal di masa itu, maka pada
masa kemunduran Islam semua itu telah harus terhenti atau minimal beralih
fungsi.
Pendidikan kuttab, masjid, dan
madrasah merubah fungsinya dari yang dulunya dikenal sebagai lembaga penelitian
dan riset yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir kini beralih fungsi menjadi
suatu lembaga yang terbatas kajiannya pada bidang-bidang keislaman dan pada
tingkat pembinaan lebih banyak ditekankan pada kemahiran penghapalan
siswa-siswanya daripada melatih mereka berpikir.Beberapa narasi yang dapat
dilihat sebagai bukti dan gambaran pengaruh warisan produk masa lalu mungkin
perlu dikemukakan di sini. Muhammad Abduh, seorang tokoh modernis Mesir, pernah
menolak kemauan ayahnya yang memaksanya untuk melanjutkan sekolahnya di Masjid
Manawi. Dia menolak karena sistem pengajaran di situ melulu menggunakan sistem
hapalan tanpa diperlukan pegertian dan pengetahuan yang lebih luas akan arti
dan makna yang dihapalkannya. Muhammad Abduh adalah tokoh modernis yang sangat
menjunjung tinggi kemampuan rasional.
Selain Muhammad Abduh, Thaha Husein juga mengalami kekecawaan yang sama ketika dikirim orang tuanya untuk belajar di Al-Azhar. Thaha Husein mendapati sistem pengajaran yang ada di al-Azhar sangat dogmatis dan sempit, serta materi pelajarannya sangat tradisional dan menjemukan. Sehingga dia menolak kemauan orang tuanya itu.9 Demikianlah gambaran umum yang ada mengenai warisan yang masih berlanjut sampai awal abad ke-20, warisan dari masa kemunduran Islam.
Selain Muhammad Abduh, Thaha Husein juga mengalami kekecawaan yang sama ketika dikirim orang tuanya untuk belajar di Al-Azhar. Thaha Husein mendapati sistem pengajaran yang ada di al-Azhar sangat dogmatis dan sempit, serta materi pelajarannya sangat tradisional dan menjemukan. Sehingga dia menolak kemauan orang tuanya itu.9 Demikianlah gambaran umum yang ada mengenai warisan yang masih berlanjut sampai awal abad ke-20, warisan dari masa kemunduran Islam.
Perubahan sistem pengajaran dan
materi pelajaran tidak hanya terjadi di lembaga-lembaga pendidikan formal
sebagaimana yang telah disebutkan tadi, perubahan juga terjadi di
lembaga-lembaga non-formal. Lembaga pendidikan non-formal, misalnya, Ribath dan
Zawiyah, bila pada masa kemajuan Islam terjadi masih mengajarkan ilmu-ilmu alat
lainnya di samping latihan-latihan tarekat, maka pada masa kemunduran Islam
pelajaran telah dibatasi oleh para syaikh hanya menjadi suatu lembaga
pendidikan yang dimaksudkan untuk hanya melahirkan dan mencetak seorang sufi
yang menyakini segala fatwa sang Syaikh adalah suatu dogma. Selain itu,
terdapat pula lembaga-lembag non-formal yang sudah tidak terdengar lagi,
seperti bait al-Hikmah, observatorium, rumah sakit dan perpustakaan.
Tidak hanya lembaga-lembaga
Pendidikan Islam yang mengalami dis-orientasi pada masa kemunduran Islam ini,
literature Islam juga mengalami hal yang sama. Literatur Islam sejak masa
kemunduran ini sudah tidak lagi menonjolkan sisi orisinalitasnya, atau
melahirkan sesuatu yang “baru”, tetapi lebih banyak menggambarkan
pengulangan-pengulangan dari apa yang pernah ditulis pendahulunya. Tidak
terbatas pada itu saja, dalam cara bersikap terhadap hasil dari tulisan-tulisan
para ulama diyakini sekali sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat digugat
oleh sembarang orang. Tulisan para ulama itu mereka pandang adalah sebagai
fatwa yang baku dan mutlak. Di sini dijumpai bahwa pemikiran-pemikiran ulama
terdahulu oleh para murid atau pengikutnya tidak lagi didudukkan sebagai produk
ijtihad ulama (hasil pemikiran individu yang masih bersifat relatif) tetapi lebih
diletakkan sejajar dengan Al-Qur’an dan Hadis. Karena itu lahirlah ungkapan dan
beredar luas di kalangan umat Islam bahwa “Pintu Ijtihad telah tertutup” dan
diterima oleh khalayak saat itu secara umum.
Keadaan seperti itu berlanjut sampai berakhirnya masa Kerajaan Turki Usmani. Tercatat bahwa penguasa Turki Usmani lebih cenderung untuk menegakkan suatu paham keagamaan saja dan menekan (pressure) kepada madzhab lain. Akibatnya dari itu semua adalah terjadinya kelesuan intelektual di bidang ilmu keagamaan dan mulai berkembang dan merajalelanya sikap fanatik yang berlebihan kepada satu madzhab atau syaikh, karena itu ijtihad hampir-hampir tidak dapat berkembang.15 Ulama hanya seanantia mencari usaha penyelematan dirinya dengan hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya masa klasik.
Keadaan seperti itu berlanjut sampai berakhirnya masa Kerajaan Turki Usmani. Tercatat bahwa penguasa Turki Usmani lebih cenderung untuk menegakkan suatu paham keagamaan saja dan menekan (pressure) kepada madzhab lain. Akibatnya dari itu semua adalah terjadinya kelesuan intelektual di bidang ilmu keagamaan dan mulai berkembang dan merajalelanya sikap fanatik yang berlebihan kepada satu madzhab atau syaikh, karena itu ijtihad hampir-hampir tidak dapat berkembang.15 Ulama hanya seanantia mencari usaha penyelematan dirinya dengan hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya masa klasik.
Dalam pada itu juga pada masa ini
berkembang pula istilah-istilah yang merusak arti sebenarnya yang diinginkan
dari penerapan prinsip kebebasan berfikir. Istilah tersebut antara lain seperti
istilah ijtihad fi al-madzhab (ijtihad hanya pada persoalan-persoalan di dalam
madzhab) sebagai arti lain dari pengertian ijtihad atau ijtihad mutlak. Ijtihad
mutlak sangat bertolak belakang dengan ijtihad fi al-Madzhab yang cenderung
bersikap fanatis yang berlebihan ketika menonjolkan kelebihan madzhabnya.
Dalam mencari tahu sebab-sebab
terjadinya kemunduran intelektualisme Islam, para pemikir dan peneliti masalah
pendidikan Islam menuding bahwa Tasawuf dan sufisme lah akar sesungguhnya dari
terjadinya kemunduran umat Islam. Mereka tidak mau melihat kemunduran Islam
pada abad ke-13 merupakan suatu peristiwa yang kompleks yang antara satu sebab
dengan sebab lainnya tidak bisa dipisahkan, yaitu adanya suatu kondisi
sosial-politik yang kurang mendukung bagi kemajuan itu. Adanya tudingan yang
diarahkan kepada tasawuf dan sufisme bagi sebab adanya kemunduran membuat
hampir seluruh aliran modern dalam Islam terkesan mengambil sikap ekstra
hati-hati dalam menanggapinya, tetapi ada pula yang terang-terangan mengarahkan
tembakannya pada mereka itu. M.M. Syarif termasuk ke dalam kategori cendikiawan
Islam juga menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa di antara sebab kemunduran
pemikiran Islam adalah tumbuh dan berkembangnya pemikiran sufistik. M.M. Syarif
juga menambahkan bahwa pemikiran seperti itu dibawa dan dipengaruhi oleh
pendapat-pendapat fatalis al-Ghazali yang bertentangan dengan pemikiran Ibnu
Rusyd yang bercorak rasionalitas yang dibawa dari dunia Islam ke Barat.
Tudingan-tudingan terhadap tasawuf dan sufisme yang diidentifikasikan sebagai sebab kemunduran menurut sebagian ulama lainnya sesungguhnya perlu diuji kebenarnnya. Karena bila diperhatikan sumber materi ajaran tasawuf yang notaben adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak berbicara tentang ajaran-ajaran yang mengandung dan mengarah kepada pembentukan pribadi yang suci. Selain itu juga Al-Qur’an dan hadis berbicara banyak tentang nilai-nilai kejujuran, menolong sesama, kesetiaan, dan kesetiakawanan sosial. Kesemua ajaran-ajaran tadi adalah titik tekan yang prinsipil bagi ajaran-ajan tasawuf. Disini yang terjadi adalah kebalikan dari yang ditundingkan tadi, karena yang terlihat adalah malah konstribusi ajaran-ajaran tasawuf bagi pendidikan Islam, yakni pembinaan akhlak yang merupakan salah satu tujuan Pendidikan Islam.
Tudingan-tudingan terhadap tasawuf dan sufisme yang diidentifikasikan sebagai sebab kemunduran menurut sebagian ulama lainnya sesungguhnya perlu diuji kebenarnnya. Karena bila diperhatikan sumber materi ajaran tasawuf yang notaben adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak berbicara tentang ajaran-ajaran yang mengandung dan mengarah kepada pembentukan pribadi yang suci. Selain itu juga Al-Qur’an dan hadis berbicara banyak tentang nilai-nilai kejujuran, menolong sesama, kesetiaan, dan kesetiakawanan sosial. Kesemua ajaran-ajaran tadi adalah titik tekan yang prinsipil bagi ajaran-ajan tasawuf. Disini yang terjadi adalah kebalikan dari yang ditundingkan tadi, karena yang terlihat adalah malah konstribusi ajaran-ajaran tasawuf bagi pendidikan Islam, yakni pembinaan akhlak yang merupakan salah satu tujuan Pendidikan Islam.
M.M Sharif dalam bukunya Muslim
Thought, mengungkapkan gejala kemunduran pendidikan dan kebudayaan islam
tersebut sebagai berikut :”… telah kita saksikan bahwa pikiran Islam telah
melaksanakan satu kemajuan yang hebat dalam jangka waktu yang terletak di
antara abad ke VIII dan abad ke XIII M .. kemudian kita memperhatikan
hasil-hasil yang diberikan kaum muslimin kepada Eropa, sebagai satu perbekalan
yang matang untuk menjadi dasar pokok dalam mengadakan pembangkitan Eropa
(renaissance)”.
Selanjutnya diungkapkan oleh M.M Sharif, bahwa pikiran islam menurun setelah abad ke XIII M dan terus melemah sampai abad ke XVIII M. di antara sebab-sebab melemahnya pikiran Islam tersebut antara lain dilukiskannya sebagai berikut :
Selanjutnya diungkapkan oleh M.M Sharif, bahwa pikiran islam menurun setelah abad ke XIII M dan terus melemah sampai abad ke XVIII M. di antara sebab-sebab melemahnya pikiran Islam tersebut antara lain dilukiskannya sebagai berikut :
1. Telah berkelebihan filsafat islam
(yang bercorak sufistis) yang dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam alam Islami di
Timur, dan berkelebihan pada Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat Islamnya
(yang bercorak rasionalistis) ke dunia Islam di barat.[9]
Al-Ghazali dengan filsafat Islamnya menuju kearah bidang rohaniah hingga
menghilang ia ke dalam mega bidang tasawuf, sdangkan Ibnu Rusyd dengan filsafatnya
menuju kearah yang bertentangan dengan Al-Ghazali. Maka Ibnu Rusyd dengan
filsafatnya menuju ke jurang materiallisme.
Al-Ghazali mendapat sukses di Timur, hingga pendapat-pendapatnya merupakan satu aliran yang terpenting Ibnu Rusyd mendapat sukses di Barat hingga pikiran-pikirannya menjadi pimpinan yang penting bagi alam pikiran Barat.
Al-Ghazali mendapat sukses di Timur, hingga pendapat-pendapatnya merupakan satu aliran yang terpenting Ibnu Rusyd mendapat sukses di Barat hingga pikiran-pikirannya menjadi pimpinan yang penting bagi alam pikiran Barat.
2. Umat islam, terutama para pemerintahnya (khalifah,
sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan tidak member
kesempatan untuk berkembang. Kalau pada mulanya para pejabat pemerintahan
sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, dengan memberikan
penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu pengetahuan, maka pada masa
menurun dan melemahnya kehidupan umat Islam ini, para ahli ilmu pengetahuan
umumnya terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan, sehingga melupakan pengemb
angan ilmu pengetahuan.
3. Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang
dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran
yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan di dunia Islam. Sementara itu obor pikiran Islam berpindah tangah ke
tangan kaum Masehi, yang mereka ini telah mengikuti jejak kaum muslimin yang
menggunakan hasil buah pikiran yang mereka capai dari pikiran Islam itu.
Dengan semakin ditinggalkannya pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan islam, karena daya intelektual generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru, bahkan telah menyebabkan ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan- persoalan baru yang dihadapi sebagai akibat perubahan dan perkembangan zaman. Ketidakmampuan intelektual tersebut, merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Terjadilah kebekuan intelektual secara total. Dalam hal ini Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam, menjelaskan tentang gejala- gejala kemunduran/kemacetan intelektual Islam ini sebagai berikut :
Dengan semakin ditinggalkannya pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan islam, karena daya intelektual generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru, bahkan telah menyebabkan ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan- persoalan baru yang dihadapi sebagai akibat perubahan dan perkembangan zaman. Ketidakmampuan intelektual tersebut, merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Terjadilah kebekuan intelektual secara total. Dalam hal ini Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam, menjelaskan tentang gejala- gejala kemunduran/kemacetan intelektual Islam ini sebagai berikut :
Ø Pentutupan
pintu ijtihad (yakni pemikiran yang orisinil dan bebas) selama abad ke 4 H/10 M
dan 5 H/ 11 M telah membawa kepada kemacetan umum dalam ilmu hukum dan ilmu
intelektual, khususnya yang pertama. Ilmu-ilmu intelektual, yakni teologi dan
pemikiran keagamaan, sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena
pengucilan mereka yang disebut terakhir ini, khususnya filsafat, dan juga
pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh
sufisme.
Ø Kehancuran
total yang dialami oleh kota Bagdad dan Granada sebagai pusat-pusat pendidikan
dan kebudayaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan
Islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu
pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di bagian Timur dan Barat dunia Islam
tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam,
terutama dalam bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya
dalam kehidupan batin atau spiritual. Kehancuran dan kemunduran- kemunduran
yang dialami oleh umat Islam, terutama dalam bidang kehidupan intelektual dan
material ini dan beralihnya secara drastis, pusat-pusat kebudayaan dari dunia
Islam ke Eropa, menimbulkan rasa lemah dari dan putus asa di kalangan
masyarakat kaum muslimin. Ini telah menyebabkan mereka lalu mencari pegangan
dan sandaran hidup yang bisa mengarahkan kehidupan mereka. Aliran pemikiran
tradisionalisme dalam Islam mendapatkan tempat di hati masyarakat secara
meluas. Mereka kembalikan segala sesuatunya kepada Tuhan.
Ø Dalam bidang
fiqh, yang terjadi adalah berkembangnya taqlid buta dikalangan umat. Dengan
sikap hidup yang fatalistis tersebut, kehidupan mereka sangat statis, tidak ada
problem-problem baru dalam bidang fiqh. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab
Fiqih lama harus diikuti seta dilaksanakan sebagaimana adanya.
Ø Kehiduapn
sufi berkembang dengan pesat. Keadaan frustasi yang merata di kalangat umat,
menyebabkan orang kembali kepada tuhan (bukan hanya sekedar dalam sikap hidup
yang fatalistis), dalam arti yang sebenarnya, bersatu dengan Tuhan, sebagaimana
yang diajarkan oleh para ahli sufi. Madrasah- madrasah yang ada dan yang
berkembang diwarnai dengan kegiatan- kegiatan sufi. Madrasah- madrasah
berkembang menjadi zawiyah- zawiyah untuk mengadakan riyadah, merintis jalan
untuk kembali an menyatu dengan Tuhan, di bawah sistem riyadhah dan jalan atau
cara-cara tertentu yang dikembangkan untuk menuntun para murid yang dikenal
selanjutnya dengan istilah tariqat.
Keadaan yang demikian, sebagaimana yang dilukiskan oleh Fazlur Rahman :
Di madrasah- madrasah yang bergabung pada khalaqah- khalaqah dan zawiyah- zawiyah sufi, karya-karya sufi dimasukkan ke dalam kuriulum formal, khususnya di india di mana sejak abad ke 8 H/14 M karya-karya al-suhrawardi (pendiri ordo suhrawardiyah), ibnu al-arabi dan kemudian juga karya-karya jami’ diajarkan. Tetapi di sebagian besar pusat-pusat sufi, terutama di Turki, kurikulum akademis terdiri dari hampir seluruhnya buku-buku tentang sufi. Di Turki waktu itu terdapat beberapa tempat khusus, yang disebut Methnevikhana, di mana masnawi-nya rumi merupakan satu-satunya buku yang diajarkan. Lebih jauh lagi, isi dan karya-karya tersebut yang sebagian besar dikuasai pantheisme, adalah bertentangan secara tajam dengan ajaran lembaga-lembaga pendidikan ortodoks. Karena itu timbullah suatu dualisme spiritual yang tajam dan berlarut-larut antara madrasah dan khalaqah.
Ciri khas dari fenomena ini adalah melimpahnya pernyataan¬- pernyataan sufi yang bertaubat setelah menemukan jalan yang benar, lalu membakar buku-buku madrasah mereka atau melemparkannya ke dalam sumur.
Akan tetapi kemunduran, dan
kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran pada masa ini bukan hanya dari aspek
diatas. Semua nampak jelas dalam sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata
pelajaran pada umumnya madrasah-madrasah yang ada. Dengan telah menyempitnya
bidang-bidang ilmu pengetahuan umum, dengan tiadanya perhatian kepada ilmu-ilmu
kealaman, maka kurikulum pada umumnya madrasah¬-madrasah terbatas pada
ilmu-ilmu keagamaan, ditambah dengan sedikit gramatika dan bahasa sebagai alat
yang diperlukan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri dari : Tafsir
Al-Qur’an, Hadis, Fiqh (termasuk Ushul Fiqh dan Prinsip-prinsip Hukum) dan Ilmu
Kalam atau Teologi Islam. Bahkan di madrasah-madrasah tertentu Ilmu Kalam pun
dicurigai, dan di madrasah yang diurus oleh kaum sufi yang memang tersebar luas
di negara-negara Islam pada masa itu harus ditambah dengan pendidikan sufi.
Materi pelajarannya sangat
sederhana, yang ternyata dari jumlah total buku-buku yang harus dipelajari pada
suatu tingkatan (bahkan tingkat tertinggi sekalipun) sangat sedikit. Waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan studi pun relatif singkat. Akibat lanjutnya
adalah kekurang mendalamnya materi pelajaran yang mereka terima, sehingga
kemerosotan dan kemunduran ilmu pengetahuan para pelajarannya pun dapat
dibayangkan. Hal tersebut disebabkan karena sistem pengajaran pada masa itu
sangat berorientasi pada buku pelajaran, dan buka pada pelajaran itu sendiri.
Oleh karena itu yang sering terjadi pelajaran hanya memberikan
komentar-komentar atau saran-saran terhadap buku-buku pelajaran yang dijadikan
pegangan oleh guru.[10]
Oleh karena itu perkembangan ilmu pengetahuan pada
masa ini dapat dikatakan macet total. Tidak ada buku-buku baru yang dihasilkan,
paling-paling hanyalah berupa komentar dari buku-buku yang telah ada, dan
bahkan komentar dari komentar.
2 komentar:
footnote tolong dilampirkan
Footne tolong dicantumkan
Posting Komentar