Minggu, 29 Mei 2016

Faktor penyebab kemunduran pendidikan islam



Faktor penyebab kemunduran pendidikan islam
   Faktor penyebab kemunduran pendidikan islam
Kemunduran pendidikan Islam dapat ditinjau dari dua aspek, aspek internal yang merupakan faktor yang terjadi dalam diri umat Islam sendiri dan faktor eksternal yaitu faktor-faktor dari luar umat Islam yang ikut memberikan saham bagi mundurnya pendidikan umat Islam.[1] Faktor internal atau faktor dari dalam diri umat Islam yang memegang peranan penting bagi kemunduran pendidikan Islam yang bermuara pada stagnasi pola pikir umat ini pada mulanya ialah disebabkan oleh ditinggalkannya pelajaran-pelajaran yang bersifat logika pada lembaga-lembaga pendidikan umat Islam dan diganti dengan pelajaran-pelajaran yang bersifat naqliyah. Hal ini terjadi karena kekhawatiran umat islam ketika itu terhadap terulangnya kembali peristiwa mihnah yang telah membawa banyak korban dan menyisakan kepedihan.
Dalam catatan sejarah sebelumnya, ketika faham Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab dan faham Negara oleh Pemerintahan Bani Abbas, pendidikan Islam mencapai puncak kemajuannya. Namun, kemudian terjadilah sebuah peristiwa berdarah yang terkenal dengan peristiwa mihnah yang dimotori oleh kaum Mu’tazilah. Inti dari peristiwa mihnah ini ialah diundangnyaa orang-orang dan ditanyakan kepada mereka apakah kitab suci Al Qur’an itu makhluq atau bukan. Apabila mereka mengingkari bahwa Al Qur’an itu bukan makhluq maka mereka akan disiksa dan bahkan ada diantara mereka yang dibunuh karena berpegang bahwa al Qur’an itu bukan makhluq. Pemaksaan ide semacam ini telah menimbulkan banyak korban di kalangan tokoh-tokoh sunni yang berpendirian bahwa Al Qur’an itu bukan makhluq tetapi ia qadim. Perlakuan oarang-orang Mu’tazilah ini mendapat pengakuan dan dudkungan dari penguasa ketika itu yakni pemerintahan Daulah Bani Abbas yang membuat para pengikut Sunni menjadi sangat resah dan merasa tertekan.
Kondisi yang sangat memprihatinkan yang terjadi padaaa peristiwa mihnah berlanjut hingga pada suatu ketika salah seorang penguasa dari daulah Bani Abbas, Al Mutawakkil menyatakan bahwa Mazhab Mu’tazilah tidak lagi dianggap dan menjadi mazhab negara dan digantikan dengan mazhab Asy’ariyah. Kebijakan Khalifah Al Mutawakkil menyebabkan kondisi berbalik. Aliran Mu’tazilah yang dahulu dilindungi oleh negara menjadi sangat tertekan dan termarginalkan. Ketika golongan Sunni memegang otoritas politik, tokoh-tokoh dari kalangan Mu’tazilah diusir. Dan golongan sunni akhirnya menjadi kelompok manusia yang antipati terhadap ilmu-ilmu rasional yang sebelumnya dikembangkan oleh orang-orang Mu’tazilah. Secara perlahan-lahan, umat Islam mulai menjauhi ilmu-ilmu pengetahuan yang bersifat aqliyah. Seakan-akan umat Islam merasa takut bahwa peristiwa mihnah akan terulang kembali jika mereka mempelajari ilmu-ilmu aqliyah. Umat Islam yang mempelajari ilmu-ilmu aqliyah semakin sedikit dan itupun dilakukan secara perorangan. Bahkan sebagian orang Mu’tazilah mempelajarinya secara sembunyi-sembunyi seperti yang dilakukan oleh kelompok Ikhwanussafa.
Cukup menarik kiranya apa yang dikemukakan oleh Syed Amir Ali dalam bukunya the spirit of Islam yang telah diterjemahkan dalam Api Islam bahwa agama Muhammad SAW, seperti juga agama Isa AS, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam. Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa.[2]
Sebagai konsekuensi logis ditinggalkannya ilmu-ilmu yang bersifat aqliyah dan digantikan dengan ilmu-ilmu yang bersifat naqliyah saja, perkembangan ilmu-ilmu yang bersifat rasional menjadi surut. Sebaliknya, ilmu-ilmu naqliyah dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang bersumber dari Islam sehingga umat Islam secara umum lebih cenderung mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dari pada ilmu-ilmu rasional. Oleh karena itu kegiatan pendidikan Islamhanya menekankan pada pengajaran ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu pengetahuan yang berkembang hanyalah pemikiran ilmu keagaqmaan khususnya ilmu fiqh. Ketika ilmu fiqh berkembang menjadi kaku dan akal kehilangan peranannya dalam fiqh, taklidpun berkembang, sedangkan pintu ijtihad seakan-akan telah tertutup. Pada akhirnya terjadilah apa yang disebut stagnasi pemikiran umat Islam.
Faktor ekstern yang menjadi pemicu kemunduran pendidikan umat Islam adalah serangan orang-orang Tartar dan Mongol pada masa pertengahan abad ke 13 yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Abbasiyah, ketika kota Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dibumihanguskan. Sekitar 800.000 penduduk kota Bagdad dibunuh dalam peristiwa penyerangan tersebut. Perpustakaan dihancurkan dan ribuan rumah penduduk dibakar. Dalam peristiwa tersebut umat Islam kehilanganlembaga-lembaga pendidikan dan buku-buku ilmu pengetahuan yang sangat berharga nilainya bagi pendidikan Islam. Musnahnya ribuan buku, baik buku-buku keagamaan maupun buku-buku tentang ilmu-ilmu sains dan filsaft mempengaruhi perkembangan intelektualisme Islam, apalagi yang menyangkut kelestarian ilmu-ilmu pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Berbagai literature ilmu pengetahuan sains dan filsafat telah lenyap dan hangus terbakar.
Kedua faktor di atas telah menyebabkan kehidupan intelektual masyarakat Muslim terus mencekam. Apalagi berkembangnya sikap hidup fatalis dalam masyarakat. Keadaan ini menyebabkan umat Islam hanya bergantung dan mengembalikan segala keuntungan dan penderitaan mereka pada keadilan Tuhan. Mereka yang memilih sikap hidup fatalis tidak lagi memiliki kepercayaan kepada kemampuannya untuk maju ataupun mengatasi masalah yang menimpa mereka dalam bidang kemasyarakatan dan keagamaan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka masuk ke dalam ajaran-ajaran tarekat, berdo’a sebanyak-banyaknya dan memohon keadilan Tuhan untuk mengembalikan kejayaan yang pernah mereka capai sebelumnya.[3]
Sementara itu Hilmy Bakar Almascaty dalam catatannya yang terangkum dalam Membangun Kembali Sistem Pendidkan Kaum Muslimin mengemukakan bahwa kehancuran Bagdad yang memusnahkan hampir seluruh warisan intelektual kaum Muslimin terdahulu telah melahirkan sikap defensif cendekiawan Muslim yang sangat ekstrim. Keadaan ini sangat mempengaruhi metode intelektual kaum Muslimin. Kemudian pada puncaknya mereka menutup pintu ijtihad yang merupakan puncak kegemilangan Islam dalam mendorong pengikutnya untuk melahirkan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran kreatif yang digunakan untuk merespon keadaan zamannya. Peristiwa ini adalah merupakan salah satu tragedy terbesar dalam sejarah perkembangan intelektual umat Islam. Akibatnya para cendekiawan sesudahnya hanya membahas dan mensyarah kitab-kitab pendahulu mereka dengan memberikan komentar-komentar detil yang kadangkala mengaburkan inti permasalahan yang dibahas, dan akhirnya justru mendangkalkan pemikiran mereka yang hanya bertaqlid mengikuti pendahulu mereka.[4]
Pada bagian yang lain, Muhammad Abdul Halim Mursi tidak jauh berbeda dalam memberikan keterangan sebab-sebab kemunduran pendidikan Islam. Dalam catatannya yang terangkum dalam Westernisasi dalam Pendidikan Islam, ia mengemukakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab kondisi umat Islam semakain hari semakin merosot dan terbelakang ialah ketika khalafah Islam di bagdad mendapatkan serangan dari bangsa Tartar yang datang dari Asia Tengah yang menyerang Bagdad secara membabi buta, menghancurkan dan membakar segala fasilitas milik kaum Muslimin yang ada di Bagdad.[5] Inilah dua faktor utama yang menjadi sebab kemunduran pendidikan Umat Islam.
Dalam tataran kontekstual kemunduran pendidikan Islam pada saat ini bukan hanya disebabkan oleh faktor dari luar umat Islam yang memang berusaha merongrong pendidikan Islam melalui budaya yang mereka hembuskan. Akan tetapi dari dalam umat Islam sendiri timbulnya keengganan di kalangan umat Islam untuk keluar dari kejumudan berfikir. Di samping – sebagaimana dimaklumi- kondisi social politik mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemajuan pendidikan Islam. Apabila umat Islam tidak ingin terlena dan tertidur pulas serta terus menerus dalam kejumudan dan keterpurukan, maka umat ini harus bangkit dan menyusun kembali strategi dalam menyahuti tantangan kontemporer.
Dan pada umumnya madrasah dibangun untuk mendalami fiqih diantara empat madzhab. Sehingga tanpa disadari terjadi pembakuan terhadap empat madzhab fiqih dikalangan umat islam. Hal inilah yang mengakibatkan seolah-olah terdapat kesan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Oleh karena itu banyak ilmuan yang enggan berijtihad untuk memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan dan keagamaan yang timbul dikalangan umat islam.
D.Unsur-Unsur Pendidikan yang Mengalami Kemunduran
Kemunduran dan kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran pada masa ini, nampak jelas dari sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran yang ada di madrasah-madrasah pada umumnya. Dengan telah menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum, dan tidak adanya perhatian kepada ilmu-ilmu kealaman, maka kurikulum di madrasah-madrasa pada umumnya hanya terbatas pada ilmu-ilmu pengetahuan agama, ditambah sedikit gramatika dan bahasa sebagai alat yang diperlukan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri dari Tafsir Al-Qur’an, Hadits, Fiqh, dan ilmu kalam.[6] Pada masa itu juga berkembang pendidikan sufi.[7]
Mata pelajarannya sangat sederhana, yang ternyata jumlah total buku-buku yang harus dipelajari pada suatu tingkatan (bahkan pada tingkat tertinggi sekalipun) sangat sedikit. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan studi pun relatif singkat. Sehingga materi pelajaran yang diterima kurang mendalam. Semua ini disebabkan karena sistem pengajaran pada masa itu sangat berorientasi pada buku pelajaran, bukan pada pelajaran itu sendiri. Oleh karena itu, sering terjadi pelajaran hanya memberi komentar atau saran terhadap buku-buku pelajaran yang dijadikan pegangan oleh guru. Sehingga, pada masa ini perkembangan ilmu pengetahuan macet total. Tidak ada bukubuku baru yang dihasilkan. Buku yang muncul pada masa ini hanya berupa komentar terhadap buku-buku yang sudah ada.
Selain itu, unsur penting dalam pendidikan yang juga mengalami kemunduran adalah semangat dalam mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan.Hal ini disebabkan oleh perkembangan aliran pemikiran tradisionalisme.

E.   Profil pendidikan islam Masa Kemunduran

Pada masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola pendidikan tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan saling melengkapi.[8] Setelah pola pemikiran rasional diambil alih pengembangannya oleh dunia Barat (Eropa) dan dunia Islam pun meninggalkan pola berpikir tersebut, maka dalam dunia Islam tinggal pola pemikiran sufistis, yang sifatnya memang sangat memperhatikan kehidupan batin, sehingga mengabaikan perkembangan dunia material. Pola pendiddikan yang dikembangkannya pun tidak lagi menghasilkan perkembangan budaya Islam yang bersifat material. Dari aspek kemunduran, atau setidak-tidaknya pendidikan islam dikatakan mengalami kemandegan.
Jatuhnya kota Baghdad di tangan Hulagu Khan pada tahun 1250 M. bukan saja pertanda yang awal dari berakhirnya supremasi Khilafah Abbasyiyah dalam dominasi politiknya, tetapi berdampak sangat luas bagi perjalanan sejarah umat Islam yang dikenal sebagai titik awal kemunduran umat Islam di bidang Politik dan Peradaban Islam yang selama berabad-abad lamanya menjadi kebanggaan umat. Pada masa jayanya kota Baghdad dikenal secara luas adalah pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah Ilmu Pengetahuan dan filsafat yang telah berhasil mengguli kota-kota lain yang dikenal sebagai pusat peradaban manusia. Dengan dibumihanguskannya kota Baghdad berikut kekayaan intelektual yang ada didalamnya, maka berakhirlah kebesaran pemerintahan Islam masa lalu, baik dalam wilayah kekuasaan maupun intelektual.
Penghancuran pusat kebudayaan Islam itu juga berakibat hilangnya dan putusnya akar sejarah intelektual yang telah dengan susah payah dibangun pada masa awal-awal Islam . Adanya kekalahan politik itu berpengaruh besar pada cara pandang dan berpikirnya umat Islam yang telah mulai mengalihkan pandangan dan pemikiran umat Islam yang semula berpaham dinamis berubah menjadi berpaham fatalis. Berubahnya paradigma berpikir itu amat disayangkan oleh banyak penganjur pembaharuan pemikiran Islam yang datang pada masa-masa kemudian. Muhammad Iqbal misalnya pernah menulis kekecewaannya itu di dalam suatu buku “During the last five hundred years religious thought ini Islam has been practically stationary”(Hampir sepanjang lima ratus tahun lamanya pemikiran di dalam Islam praktis menjadi statis).
Kemunduran dan kehancuran Islam di Baghdad, di satu sisi menurut sebagian pemerhati sejarah Islam yang masih melihat adanya harapan, jika ingin jujur tidaklah dapat dikatakan sebagai kemunduran dan kehancuran Islam secara total. Sebab di belahan dunia lain, dengan tidak dapat dibantah adanya suatu kenyataan sejarah Islam yang lain karena telah berhasil menancapkan kemajuannya di daerah Spanyol di bawah pemerintahan Islam. Tetapi sesungguhnya kemajuan yang mereka banggakan itu sifatnya juga sangat kecil dan tidak sporadis, karena hanya terbatas pada wilayah Granada saja. Dan secara politik penguasa Islam di Granada yaitu Bani Ahmar (1332 M s/d 1492 M). hanya berkuasa pada wilayah yang sangat kecil. Jadi Argumentasi jatuhnya Baghdad sebagai permulaan terjadinya kemunduran Islam argumentasi yang sangat dapat diterima.
Adanya kemandegan dan kemunduran dalam segala bidang secara praktis sangat mempengaruhi juga bidang kajian Pendidikan Islam. Kalau Pendidikan Islam di masa kemajuannya telah berhasil memberikan sumbangan dalam melahirkan sumber daya manusia unggulan melalui lembaga-lembaga pendidikan-nya yang belum pernah dikenal di masa itu, maka pada masa kemunduran Islam semua itu telah harus terhenti atau minimal beralih fungsi.
Pendidikan kuttab, masjid, dan madrasah merubah fungsinya dari yang dulunya dikenal sebagai lembaga penelitian dan riset yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir kini beralih fungsi menjadi suatu lembaga yang terbatas kajiannya pada bidang-bidang keislaman dan pada tingkat pembinaan lebih banyak ditekankan pada kemahiran penghapalan siswa-siswanya daripada melatih mereka berpikir.Beberapa narasi yang dapat dilihat sebagai bukti dan gambaran pengaruh warisan produk masa lalu mungkin perlu dikemukakan di sini. Muhammad Abduh, seorang tokoh modernis Mesir, pernah menolak kemauan ayahnya yang memaksanya untuk melanjutkan sekolahnya di Masjid Manawi. Dia menolak karena sistem pengajaran di situ melulu menggunakan sistem hapalan tanpa diperlukan pegertian dan pengetahuan yang lebih luas akan arti dan makna yang dihapalkannya. Muhammad Abduh adalah tokoh modernis yang sangat menjunjung tinggi kemampuan rasional.
Selain Muhammad Abduh, Thaha Husein juga mengalami kekecawaan yang sama ketika dikirim orang tuanya untuk belajar di Al-Azhar. Thaha Husein mendapati sistem pengajaran yang ada di al-Azhar sangat dogmatis dan sempit, serta materi pelajarannya sangat tradisional dan menjemukan. Sehingga dia menolak kemauan orang tuanya itu.9 Demikianlah gambaran umum yang ada mengenai warisan yang masih berlanjut sampai awal abad ke-20, warisan dari masa kemunduran Islam.
Perubahan sistem pengajaran dan materi pelajaran tidak hanya terjadi di lembaga-lembaga pendidikan formal sebagaimana yang telah disebutkan tadi, perubahan juga terjadi di lembaga-lembaga non-formal. Lembaga pendidikan non-formal, misalnya, Ribath dan Zawiyah, bila pada masa kemajuan Islam terjadi masih mengajarkan ilmu-ilmu alat lainnya di samping latihan-latihan tarekat, maka pada masa kemunduran Islam pelajaran telah dibatasi oleh para syaikh hanya menjadi suatu lembaga pendidikan yang dimaksudkan untuk hanya melahirkan dan mencetak seorang sufi yang menyakini segala fatwa sang Syaikh adalah suatu dogma. Selain itu, terdapat pula lembaga-lembag non-formal yang sudah tidak terdengar lagi, seperti bait al-Hikmah, observatorium, rumah sakit dan perpustakaan.
Tidak hanya lembaga-lembaga Pendidikan Islam yang mengalami dis-orientasi pada masa kemunduran Islam ini, literature Islam juga mengalami hal yang sama. Literatur Islam sejak masa kemunduran ini sudah tidak lagi menonjolkan sisi orisinalitasnya, atau melahirkan sesuatu yang “baru”, tetapi lebih banyak menggambarkan pengulangan-pengulangan dari apa yang pernah ditulis pendahulunya. Tidak terbatas pada itu saja, dalam cara bersikap terhadap hasil dari tulisan-tulisan para ulama diyakini sekali sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat digugat oleh sembarang orang. Tulisan para ulama itu mereka pandang adalah sebagai fatwa yang baku dan mutlak. Di sini dijumpai bahwa pemikiran-pemikiran ulama terdahulu oleh para murid atau pengikutnya tidak lagi didudukkan sebagai produk ijtihad ulama (hasil pemikiran individu yang masih bersifat relatif) tetapi lebih diletakkan sejajar dengan Al-Qur’an dan Hadis. Karena itu lahirlah ungkapan dan beredar luas di kalangan umat Islam bahwa “Pintu Ijtihad telah tertutup” dan diterima oleh khalayak saat itu secara umum.
Keadaan seperti itu berlanjut sampai berakhirnya masa Kerajaan Turki Usmani. Tercatat bahwa penguasa Turki Usmani lebih cenderung untuk menegakkan suatu paham keagamaan saja dan menekan (pressure) kepada madzhab lain. Akibatnya dari itu semua adalah terjadinya kelesuan intelektual di bidang ilmu keagamaan dan mulai berkembang dan merajalelanya sikap fanatik yang berlebihan kepada satu madzhab atau syaikh, karena itu ijtihad hampir-hampir tidak dapat berkembang.15 Ulama hanya seanantia mencari usaha penyelematan dirinya dengan hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya-karya masa klasik.
Dalam pada itu juga pada masa ini berkembang pula istilah-istilah yang merusak arti sebenarnya yang diinginkan dari penerapan prinsip kebebasan berfikir. Istilah tersebut antara lain seperti istilah ijtihad fi al-madzhab (ijtihad hanya pada persoalan-persoalan di dalam madzhab) sebagai arti lain dari pengertian ijtihad atau ijtihad mutlak. Ijtihad mutlak sangat bertolak belakang dengan ijtihad fi al-Madzhab yang cenderung bersikap fanatis yang berlebihan ketika menonjolkan kelebihan madzhabnya.
Dalam mencari tahu sebab-sebab terjadinya kemunduran intelektualisme Islam, para pemikir dan peneliti masalah pendidikan Islam menuding bahwa Tasawuf dan sufisme lah akar sesungguhnya dari terjadinya kemunduran umat Islam. Mereka tidak mau melihat kemunduran Islam pada abad ke-13 merupakan suatu peristiwa yang kompleks yang antara satu sebab dengan sebab lainnya tidak bisa dipisahkan, yaitu adanya suatu kondisi sosial-politik yang kurang mendukung bagi kemajuan itu. Adanya tudingan yang diarahkan kepada tasawuf dan sufisme bagi sebab adanya kemunduran membuat hampir seluruh aliran modern dalam Islam terkesan mengambil sikap ekstra hati-hati dalam menanggapinya, tetapi ada pula yang terang-terangan mengarahkan tembakannya pada mereka itu. M.M. Syarif termasuk ke dalam kategori cendikiawan Islam juga menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa di antara sebab kemunduran pemikiran Islam adalah tumbuh dan berkembangnya pemikiran sufistik. M.M. Syarif juga menambahkan bahwa pemikiran seperti itu dibawa dan dipengaruhi oleh pendapat-pendapat fatalis al-Ghazali yang bertentangan dengan pemikiran Ibnu Rusyd yang bercorak rasionalitas yang dibawa dari dunia Islam ke Barat.
Tudingan-tudingan terhadap tasawuf dan sufisme yang diidentifikasikan sebagai sebab kemunduran menurut sebagian ulama lainnya sesungguhnya perlu diuji kebenarnnya. Karena bila diperhatikan sumber materi ajaran tasawuf yang notaben adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak berbicara tentang ajaran-ajaran yang mengandung dan mengarah kepada pembentukan pribadi yang suci. Selain itu juga Al-Qur’an dan hadis berbicara banyak tentang nilai-nilai kejujuran, menolong sesama, kesetiaan, dan kesetiakawanan sosial. Kesemua ajaran-ajaran tadi adalah titik tekan yang prinsipil bagi ajaran-ajan tasawuf. Disini yang terjadi adalah kebalikan dari yang ditundingkan tadi, karena yang terlihat adalah malah konstribusi ajaran-ajaran tasawuf bagi pendidikan Islam, yakni pembinaan akhlak yang merupakan salah satu tujuan Pendidikan Islam.
M.M Sharif dalam bukunya Muslim Thought, mengungkapkan gejala kemunduran pendidikan dan kebudayaan islam tersebut sebagai berikut :”… telah kita saksikan bahwa pikiran Islam telah melaksanakan satu kemajuan yang hebat dalam jangka waktu yang terletak di antara abad ke VIII dan abad ke XIII M .. kemudian kita memperhatikan hasil-hasil yang diberikan kaum muslimin kepada Eropa, sebagai satu perbekalan yang matang untuk menjadi dasar pokok dalam mengadakan pembangkitan Eropa (renaissance)”.
Selanjutnya diungkapkan oleh M.M Sharif, bahwa pikiran islam menurun setelah abad ke XIII M dan terus melemah sampai abad ke XVIII M. di antara sebab-sebab melemahnya pikiran Islam tersebut antara lain dilukiskannya sebagai berikut :
1. Telah berkelebihan filsafat islam (yang bercorak sufistis) yang dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam alam Islami di Timur, dan berkelebihan pada Ibnu Rusyd dalam memasukkan filsafat Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia Islam di barat.[9] Al-Ghazali dengan filsafat Islamnya menuju kearah bidang rohaniah hingga menghilang ia ke dalam mega bidang tasawuf, sdangkan Ibnu Rusyd dengan filsafatnya menuju kearah yang bertentangan dengan Al-Ghazali. Maka Ibnu Rusyd dengan filsafatnya menuju ke jurang materiallisme.
Al-Ghazali mendapat sukses di Timur, hingga pendapat-pendapatnya merupakan satu aliran yang terpenting Ibnu Rusyd mendapat sukses di Barat hingga pikiran-pikirannya menjadi pimpinan yang penting bagi alam pikiran Barat.
2. Umat islam, terutama para pemerintahnya (khalifah, sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan tidak member kesempatan untuk berkembang. Kalau pada mulanya para pejabat pemerintahan sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, dengan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu pengetahuan, maka pada masa menurun dan melemahnya kehidupan umat Islam ini, para ahli ilmu pengetahuan umumnya terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan, sehingga melupakan pengemb angan ilmu pengetahuan.
3. Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam. Sementara itu obor pikiran Islam berpindah tangah ke tangan kaum Masehi, yang mereka ini telah mengikuti jejak kaum muslimin yang menggunakan hasil buah pikiran yang mereka capai dari pikiran Islam itu.
Dengan semakin ditinggalkannya pendidikan intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan islam, karena daya intelektual generasi penerus tidak mampu mengadakan kreasi-kreasi budaya baru, bahkan telah menyebabkan ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan- persoalan baru yang dihadapi sebagai akibat perubahan dan perkembangan zaman. Ketidakmampuan intelektual tersebut, merealisasi dalam “pernyataan” bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Terjadilah kebekuan intelektual secara total. Dalam hal ini Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam, menjelaskan tentang gejala- gejala kemunduran/kemacetan intelektual Islam ini sebagai berikut :
Ø  Pentutupan pintu ijtihad (yakni pemikiran yang orisinil dan bebas) selama abad ke 4 H/10 M dan 5 H/ 11 M telah membawa kepada kemacetan umum dalam ilmu hukum dan ilmu intelektual, khususnya yang pertama. Ilmu-ilmu intelektual, yakni teologi dan pemikiran keagamaan, sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang disebut terakhir ini, khususnya filsafat, dan juga pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti yang dibawa oleh sufisme.

Ø  Kehancuran total yang dialami oleh kota Bagdad dan Granada sebagai pusat-pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan di bagian Timur dan Barat dunia Islam tersebut, menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam, terutama dalam bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya dalam kehidupan batin atau spiritual. Kehancuran dan kemunduran- kemunduran yang dialami oleh umat Islam, terutama dalam bidang kehidupan intelektual dan material ini dan beralihnya secara drastis, pusat-pusat kebudayaan dari dunia Islam ke Eropa, menimbulkan rasa lemah dari dan putus asa di kalangan masyarakat kaum muslimin. Ini telah menyebabkan mereka lalu mencari pegangan dan sandaran hidup yang bisa mengarahkan kehidupan mereka. Aliran pemikiran tradisionalisme dalam Islam mendapatkan tempat di hati masyarakat secara meluas. Mereka kembalikan segala sesuatunya kepada Tuhan.

Ø  Dalam bidang fiqh, yang terjadi adalah berkembangnya taqlid buta dikalangan umat. Dengan sikap hidup yang fatalistis tersebut, kehidupan mereka sangat statis, tidak ada problem-problem baru dalam bidang fiqh. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab Fiqih lama harus diikuti seta dilaksanakan sebagaimana adanya.

Ø  Kehiduapn sufi berkembang dengan pesat. Keadaan frustasi yang merata di kalangat umat, menyebabkan orang kembali kepada tuhan (bukan hanya sekedar dalam sikap hidup yang fatalistis), dalam arti yang sebenarnya, bersatu dengan Tuhan, sebagaimana yang diajarkan oleh para ahli sufi. Madrasah- madrasah yang ada dan yang berkembang diwarnai dengan kegiatan- kegiatan sufi. Madrasah- madrasah berkembang menjadi zawiyah- zawiyah untuk mengadakan riyadah, merintis jalan untuk kembali an menyatu dengan Tuhan, di bawah sistem riyadhah dan jalan atau cara-cara tertentu yang dikembangkan untuk menuntun para murid yang dikenal selanjutnya dengan istilah tariqat.

Keadaan yang demikian, sebagaimana yang dilukiskan oleh Fazlur Rahman :
Di madrasah- madrasah yang bergabung pada khalaqah- khalaqah dan zawiyah- zawiyah sufi, karya-karya sufi dimasukkan ke dalam kuriulum formal, khususnya di india di mana sejak abad ke 8 H/14 M karya-karya al-suhrawardi (pendiri ordo suhrawardiyah), ibnu al-arabi dan kemudian juga karya-karya jami’ diajarkan. Tetapi di sebagian besar pusat-pusat sufi, terutama di Turki, kurikulum akademis terdiri dari hampir seluruhnya buku-buku tentang sufi. Di Turki waktu itu terdapat beberapa tempat khusus, yang disebut Methnevikhana, di mana masnawi-nya rumi merupakan satu-satunya buku yang diajarkan. Lebih jauh lagi, isi dan karya-karya tersebut yang sebagian besar dikuasai pantheisme, adalah bertentangan secara tajam dengan ajaran lembaga-lembaga pendidikan ortodoks. Karena itu timbullah suatu dualisme spiritual yang tajam dan berlarut-larut antara madrasah dan khalaqah.
Ciri khas dari fenomena ini adalah melimpahnya pernyataan¬- pernyataan sufi yang bertaubat setelah menemukan jalan yang benar, lalu membakar buku-buku madrasah mereka atau melemparkannya ke dalam sumur.
Akan tetapi kemunduran, dan kemerosotan mutu pendidikan dan pengajaran pada masa ini bukan hanya dari aspek diatas. Semua nampak jelas dalam sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata pelajaran pada umumnya madrasah-madrasah yang ada. Dengan telah menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum, dengan tiadanya perhatian kepada ilmu-ilmu kealaman, maka kurikulum pada umumnya madrasah¬-madrasah terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan, ditambah dengan sedikit gramatika dan bahasa sebagai alat yang diperlukan. Ilmu-ilmu keagamaan yang murni tinggal terdiri dari : Tafsir Al-Qur’an, Hadis, Fiqh (termasuk Ushul Fiqh dan Prinsip-prinsip Hukum) dan Ilmu Kalam atau Teologi Islam. Bahkan di madrasah-madrasah tertentu Ilmu Kalam pun dicurigai, dan di madrasah yang diurus oleh kaum sufi yang memang tersebar luas di negara-negara Islam pada masa itu harus ditambah dengan pendidikan sufi.
Materi pelajarannya sangat sederhana, yang ternyata dari jumlah total buku-buku yang harus dipelajari pada suatu tingkatan (bahkan tingkat tertinggi sekalipun) sangat sedikit. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan studi pun relatif singkat. Akibat lanjutnya adalah kekurang mendalamnya materi pelajaran yang mereka terima, sehingga kemerosotan dan kemunduran ilmu pengetahuan para pelajarannya pun dapat dibayangkan. Hal tersebut disebabkan karena sistem pengajaran pada masa itu sangat berorientasi pada buku pelajaran, dan buka pada pelajaran itu sendiri. Oleh karena itu yang sering terjadi pelajaran hanya memberikan komentar-komentar atau saran-saran terhadap buku-buku pelajaran yang dijadikan pegangan oleh guru.[10]
Oleh karena itu perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini dapat dikatakan macet total. Tidak ada buku-buku baru yang dihasilkan, paling-paling hanyalah berupa komentar dari buku-buku yang telah ada, dan bahkan komentar dari komentar.

Perkembangan Islam pada Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib



Perkembangan Islam pada Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 35 – 40 H (656 – 661)
Ali bin Abi Thalib ialah putera dari paman Rasulullah dan suami dari puteri beliau Fatimah. Fatimah adalah satu-satunya puteri Rasulullah yang ada mempunyai keturunan. Dari pihak Fatimah inilah Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.
Muhammad saw. diasuh oleh Abu Thalib sesudah Abdul Muthalib meninggal. Kemudian karena hasrat hendak menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka Ali diambil Muhammad saw. diasuh dan dididiknya. Hal ini dapat meringankan kehidupan Abu Thalib, lebih-lebih waktu negeri Mekkah ditimpa bahaya kelaparan, karena Abu Thalib adalah bapak dari banyak anak.
Ali semenjak kecil sudah mendapat didikan dan adab serta budi pekerti Islam. Lidahnya amat fashih berbicara,dan dalam hal ini ini terkenal ulung. Pengetahuannya dalam agama Islam sangatlah luas. Dan mungkin karena kedekatannya dengan Rasul, beliau termasuk orang yang paling banyak dalam meriwayatkan hadits Nabi. Keberaniannya juga masyhur dan hampir di seluruh peperangan-peperangan yang dipimpin Rasul, Ali senantiasa berada di barisan depan, bergulat atau perang tanding dengan prinsip tak takut akan mati. Sering Ali dapat merebut kemenangan bagi kaum muslimin dengan mata pedangnya yang tajam.
Keberanian Ali dan banyaknya darah yang ditumpahkannya dalam medan peperangan dalam membela dan mempertahankan agama Islam dari orang-orang yang menyerangnya, menyebabkan ia banyak mempunyai musuh. Banyak orang yang luka hatinya, karena pahlawan-pahlawan kebanggaan mereka banyak yang tertipu oleh keberanian Ali, lalu menentang Islam sekeras-kerasnya dan telah menemui ajalnya di ujung pedang Ali yang tajam.
Adapun budi pekerti Ali, keshalihan, keadilan, toleransi, dan kebersihan jiwanya sangatlah terkenal. Ali terhitung seorang dari tokoh-tokoh utama yang mengambil pengetahuan, budi pekerti, dan kebersihan jiwa dari Rasulullah saw. Tokoh-tokoh utama yang tiga itu ialah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga terpandang laksana mercu suar yang memancarkan cahayanya ke segenap penjuru alam.

1.        Pembai’atan Ali sebagai Khalifah
Dari uraian-uraian berlalu dapat diambil kesimpulan bahwa ada golongan yang tidak menyukai Ali. Beliau adalah bintang Bani Hasyim, yang menunut kursi khlifah, bardasarkan beliau merupakan kerabat Rasulullah. Tetapi, jumhur kaum Muslimin memendang bahwa penyerahan kursi khalifah kepada Ali berarti penyerahannya yang bersifat turun-temurun sebagai warisan kepada Bani Hasyim. Cara ini tidak dapat diterima oleh bangsa Arab dan ditolak pula oleh orang-orang yang mempunyai keinginan perseorangan.
 Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, akan kembalilah cara-cara memerintah pada pemerintahan Umar yang tegas dan keras serta disiplin itu. Orang-orang yang telah merasakan kesenangan dan kenikmatan hidup di masa pemerintahan yang sebelumnya, tentu saja tidak ingin kembali lagi ke keadaan yang serba teliti dan serba diperhitungkan seperti di masa Umar.
Banyak pula orang yang telah menjadi kaya raya dengan jalan yang bathil, akan menjadi berkuasa dan berpengaruh dengan jalan aniaya. Bila Ali memerintah, maka sudah tentu kekayaan mereka akan tandas, dan kekuasaan mereka akan hilang lenyap. Berdasarkan pada pertimbangan yang semacam inilah banyak orang yang tiada menyukai Ali.
Tak ada di antara sahabat-sahabat terkemuka yang dapat menolak untuk membai’ah Ali, kemudian banyak para Muhajirin dan Anshar yang mengikuti tindakan mereka, dan Ali pun di bai’ah oleh rakyat terbanyak.

2.        Tantangan-tantangan yang dihadapi Ali bin Abi Thalib dalam memerintah
Politik yang dijalankan seseorang adalah gambaran pribadi orang tersebut, yang akan mencerminkan akhlak dan budi pekertinya. Ali mempunyai watak dan pribadi tersendiri, suka berterus terang, tegas bertindak dan tak suka berbohong. Ia tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Disebabkan oleh kepribadian yang dimilikinya itulah, maka sesudah di bai’ah menjadi khalifah, ia mengeluarkan dua buah ketetapan, yakni sebagai berikut :
a.       Memecat kepala-kepala daerah angkatan pemerintahan Usman yang di anggap menyalahi aturan pamerintahan, dan dikirimnya kepala-kepala pemerintahan yang baru yang akan menggantikan.
b.      Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan di masa pemerintahan Usman tanpa jalan yang sah.
Banyak pendukung-pendukung dari kerabat Ali yang menasehatinya supaya menangguhkan tindakan-tindakan radikal seperti itu, sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan. Pertama-tama Ali mendapatkan tantangan dari keluarga Bani Umaiyah. Mereka membulatkan tenaga dan bangunlah Mu’awiyah melancarkan pemberontakan memerangi Ali.
Pemberontakan pertama diawali oleh penarikan bai’at oleh Thalhah dan Zubair, karena alsan bahwa khalifah Ali tidak memenuhi tuntutan mereka untuk menghukum pembunuh kahlifah Utsman. Bahwa penolakan khalifah ini disampaikan kepada Siti Aisyyah yang merupakan kerabatnya di perjalanan pulang dari Mekkah, yang tidak tahu mengenai kematian khalifah Utsman, sementara Thalhah dan Zubair dalam perjalanan menuju Bashrash. Siti Aisyah bergabung dengan Thalhah dan Zubair untuk menentang khlifah Ustman, bisa juga karena alasan pribadi, atau karena hasutan Abdullah bin Zubair. Muawiyah turut andil pula dalam pemberontakan ini, tetapi hanya terbatas pada usaha untuk menurunkan kredibilitas khalifah di mata umat Islam, dengan cara menuduh bahwa jangan-jangan khalifah berada di balik pembunuhan Khalifah Ustman.
Boleh dikatakan bahwa hampir seluruh ahli sejarah dan ahli ketimuran mencela tidakan Ali. Dikatakannya bahwa Ali tidak bijaksana, dan tidak mendapat taufik dalam hal ini. Tetapi menurut kami, bahwa tidak sepantasnya meletakkan tuduhan yang seberat itu ke pundak Ali. Tuduhan itu sangatlah berlebihan.
Kesimpulannya, pengangkatan Ali menjadi khalifah adalah suatu hal yang wajar, dan penantangan kepadanya pun adalah hal yang wajar pula, sebagai akibat dari perkembangan dan peristiwa-peristiwa sebelumnya, atau dengan kata lain, penantangan itu adalah karena keinginan untuk merebut kekuasaan yang di bungkusi dengan alasan-alasan yang nampak seperti pemecatan para pejabat yang dianggap telah menyalahi aturan-aturan pemerintahan, ataupun pengembalian harta milik baitu mal yang telah dirampas.
Banyak peperangan yang tejadi di masa pemerintahan Ali, dan yang terpenting adalah dua buah peperangan, yaitu peperangan jamal dan peperangan siffin.
a.         Perang Jamal
Pemberontakan demi pemberontakan muncul. Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Walaupun pada awalnya Thalhah dan Zubair membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Akan tetapi baiat yang dilakukannya menurut Jalaluddin Asy-Syuyuthi, bukan atas dasar ketaatan kepada Ali, tetapi karena keterpaksaan saja. Maka pada akhirnya setelah berangkat ke Mekah bersama Aisyah kemudian melanjutkan perjalanan ke Bashrah ia mengajukan tuntutan kepada Ali agar menangkap orang yang  telah membunuh khalifah Utsman. Alasan mereka melakukan pemberontakan, karena Ali bin Abi Thalib tidak mau menghukum mereka yang telah membunuh khalifah Utsman bin Affan, dan mereka terus menuntut bela terhadap darah khalifah Utsman yang telah ditumpahkan secara dzalim. Ajakan khalifah Ali untuk melakukan perundingan dan menyelesaikan perkara secara damai, ditolak mentah oleh Thalhah. Maka akhirnya pertempuran dahsyatpun berkobar. Maka perang ini dinamakan perang Jamal, karena Aisyah dalam peperangan itu menunggangi unta. Dalam peperangan ini Thalhah dan Zubair terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
b.        Perang Siffin
Pemberontakan terhadap khalifah Ali bin Abi Tahlib juga tidak hanya terjadi pada perang Jamal, tetapi juga terjadi pada perang Siffin. Perang ini dilatarbelakangi oleh pembangkangan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluaran oleh Ali bin Abi Thalib yang didukung oleh bekas pejabat tinggi yang meras kehilangan kedudukan dan kejayaan, yang pada akhirnya melahirkan konflik bersenjata antara pasukan Ali dengan Muawiyah. Perang ini kemudian dinamakan perang Siffin. Dalam perang ini pasukan Ali bin Abi Thalib hamper memenangkan pertempuran, mengalahkan pasukan Muawiyah. Akan tetapi dalam keadaan terdesak, pasukan Muawiyah mengangkat mushaf al-Quran sebagai tanda bahwa perang harus diakhiri dengan melakukan perdamaian. Dalam proses perdamaian itu kedua belah pihak masing-masing mengutus juru damai. Pihak Ali mengutus Abu Musya al-Asy’ari, sedangkan dari pihak Muawiyah mengutus Amr bin Al-Ash. Ali bin Abi Thalib kembali ke Mekah. Sedangkan Muawiyah kembali ke Syiria. Keduanya menunggu hasil perdamaian yang dilakukan oleh utusannya itu. Hasil kesepakatan kedua juru damai, kemudian disampaikan kepada khalayak ramai di Adzrah. Pertemuan tersebut juga disaksikan oleh sejumlah shahabat diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqas dan Ibn Umar. Karena lebih tua Abu Musa al-Asy’ari dipersilahkan meyampaikan hasil perdamaian terlebih dahulu kepada masyarakat. Maka Abu Musya dalam pidatonya sepakat menurunkan Ali dari jabatannya sebagai kholifah. Kemudian pembicara kedua disampaikan oleh Amr bin Ash. Dalam pidatonya Amr bin Ash yang terkenal licik dan cerdik menerima penurunan Ali bin Thalib sebagai khalifah, dan menetapkan Muawiyah sebagai penggantinya, dan ia membaiat Muawiyah sebagai khalifah.

3.        Akhir Pemerintahan Ali
 Sebetulnya tidak pernah ada satu haripun, keadaan yang stabil selama pemerintahan Ali, karena banyaknya hal-hal yang tidak sepengetahuan Ali telah terjadi, seperti hal nya di waktu beliau bersiap-siap hendak mengirim balatentara untuk memerangi Mu’awiyah, terjadilah suatu kelompok yang akan mengakhiri hidup masing-masing dari Ali, Mu’awiyah dan Amr bin Ash. Kelompok tersebut terdiri dari tiga orang khawarij, yang telah bersepakat hendak membunuh ketiga orang pemimpin itu pada malam yang sama. Seorang diantaranya bernama Abdurrahman ibnu Muljam. Orang tesebut berngkat ke Kufah untuk membunuh Ali. Yang seorang lain bernama Barak ibnu Abdillah at-Tamimi. Orang ini pergi ke Syam untuk membunuh Mu’awiyah, sedang yang satunya lagi yaitu Amr ibnu Bakr at- Tamimi berngkat ke Mesir untuk membunuh Amr bin Ash.
Tetapi di antara ketiga orang itu hanyalah Ibnu Muljam yang dapat membunuh Ali. Ibnu Muljam menusuk Ali dengan pedang waktu beliau sedang shalat. Orang-orang yang bersembahyang di mesjid itu hanya mampu menangkap Ibnu Muljam ketika Ali sudah terbunuh dan berpulang kerahmatullah. Sedangkan Mu’awiyah dan Amr bin Ash selamat dari maut karena tikaman yang diarahkan kepada Mu’awiyah tak membawanya pada kematian dan Amr ibnu Bakar salah dalam menikam orang, ia mengira Kharij ibnu Habib as-Suhami lah orang yang akan dibunuhnya yang dikiranya Amr bin Ash.
Dengan demikian berakhirlah riwayat Ali, orang yang paling fashih, paling berani, dan yang paling luas pengetahuannya di antara pengikut-pengikut Rasulullah saw. Dengan berpulangnya Ali kerahmatullah habislah masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.